Kamis, 31 Mei 2012

SASTRA

Naskah Drama
Oleh : Arwahid
 
SEPASANG MERPATI TUA
KARYA : BAKDI SOEMANTO

Para pelaku:
Nenek
Kakek

         Panggung menggambarkan sebuah ruangan tengah rumah sepasang orang tua. Di atas sebelah kiri ada meja makan kecil dengan dua buah kursi. Di atas meja ada teko, sepasang cangkir, dan stoples berisi panganan. Agak di tengah ruangan itu terdapat sofa, lusuh warna gairahnya. Di belakang terdapat pintu dan jendela.
        Waktu drama ini dimulai, Nenek duduk sambil menyulam. Sebentar-bentar ia menengok ke belakang, kalau-kalau suaminya datang. Saat itu hari menjelang malam.

Nenek    : (Bicara sendiri). Ah, dasar! Kayak nggak ingat sudah pikun. Pekerjaannya
                 tidak ada lain selain bersolek. Dikiranya masih ada gadis-gadis yang suka
                 memandang. Hmmm… (Mengambil cangkir, lalu meminumnya)
Kakek    :  (Masuk). Bagaimana kalau aku pakai kopiah seperti ini, Bu?
Nenek    :  Astaga! Tuan rumah mau pesiar ke mana menjelang malam begini?
Kakek    :  tidak kemana-mana. Cuma mau duduk-duduk saja, sambil baca koran.
Nenek    :  mengapa membaca koran mesti pakai kopiah segala?
Kakek    :  Agar komplit, Bu
Nenek    :  yaaah. Waktu dulu kau jadi juru tulis, empat puluh tahun lampau. Tapi
                sekarang, kopiah hanya bernilai tambah penghangat belaka.
Kakek    :  (Berjalan menuju ke meja, mengambil koran, lalu pergi ke sofa, membuka
                 lembarannya)
Nenek    :  Mengapa tidak duduk di sini?
Kakek    :  Sebentar.
Nenek    :  Ada berita rahasia
Kakek    :  rahasia?
Nenek    :  habis kau baca koran kenapa menyendiri?
Kakek    :  Malu.
Nenek    :  Malu? Kau aneh. Malu pada siapa?
Kakek    :  dilihat banyak orang tuuuh. (Menunjuk penonton). Sudah tua kenapa
                 pacaran terus….
Nenek    :  (Berdiri menghampiri Kakek, lalu duduk di sebelahnya, lalu menyandarkan
                 kepalanya ke bahu Kakek sebelah kiri).
Kakek    :  Gila. Malah demonstrasi.
Nenek    :  Sekali waktu memang perlu.
Kakek    :  Ya, tapi kan bukan untuk saat ini?
Nenek    :  Kukira justru!
Kakek    :  Duilah apa-apaan ini.
Nenek    :  Agar orang tetap tahu, aku milikmu.
Kakek    :  Siapa mengira kita sudah cerai?
Nenek    :  Ah, wanita. Bagaiamanapun sudah tua, aku tetap wanita. (Berdiri, pergi ke
kursi dan duduk). Dunia wanita yang hidup dalam angan-angan, takutkehilangan, tapi menuntut kenyataan-kenyataan.
Kakek    :  Bagus!
Nenek    :  Apa maksudmu?
Kakek    :  Tindakan terpuji, itu namanya.
Nenek    :  He, apa sih maksudmu, Pak?
Kakek    :  Mengaku dosa di depan orang banyak!
Nenek    :  Hu… hu… hu… (Menangis)
Kakek    :  He, ada apa kau, Bu? Ada apa? Digigit namuk rupanya?
Nenek    :  Kau memperolok-olok aku di depan orang banyak begini. Siapa aku ini?
Istrimu bukan? Kalau aku dapat malu, kan kau juga ikut dapat malu toh.   Hu…  hu… hu…
Kakek    :  Bukan maksudku memperolok-olok kau, Bu. Aku justru memuji tindakanmu
                 yang berani.
Nenek    :  (Tiba-tiba berhenti manangis). Berani? Aku pemberani?
Kakek    :  Ya, kau pantas disejajarkan dengan ibu kita kartini
Nenek    :  Ibu Tin?
Kakek    :  Bukan, bukan bu tin, Ibu kita Kartini.
Nenek    :  Tetapi, kan ibu kita Kartini juga bisa kita sebut Bu Tin, kan. Apa salahnya?
Kakek    :  Hush, diam! Ingat ini di depan orang banyak. Maka jangan main semberono
                 dengan sebutan-sebutan yang multi interpretable….
Nenek    :  Ah, laga profesormu kumat lagi, Pak?
Kakek    : Yaaa, aku dulu memang punya cita-cita jadi professor.
Nenek    :  Dan kandas.
Kakek    :  Belum. O, malah sudah berhasil, Cuma tunggu pengakuan.
Nenek    :  Siapa yang akan mengakui keprofesoranmu? Kau tidak mengajar di
                 perguruan tinggi manapun di dunia ini.
Kakek    :  Secara formal memang tidak. Secara material ia.
Nenek    :  Hah, bagaimana mungkin?
Kakek    :  Kau lihat, banyak mahasiswa yang datang kemari, bukan? Tidak hanya itu,
                 malahan para guru besar pada datang ke mari. Mereka mengajak diskusi
aku, segala macam soal. Dari soal-soal tata pemerintahan sampai bagaimanamengatasi kesepian.
Nenek    :  Bukankah itu Cuma omong-omong, mengapa mesti dikatakan diskusi?
Kakek    :  Siapa bilang orang memberi kuliah di depan kelas tidak pake omong, he…?
Nenek    :  Mestinya kau tidak usah jadi professor saja, Pak. Jadi diplomat ulung saja
Kakek    : Aku kurang senang jadi diplomat.
Nenek    :  Tapi kau lebih terkemuka, lebih ternama, lebih terkenal.
Kakek    :  Diplomat terlalu banyak menipu hati nuraninya sendiri. (Nenek termenung
                 tiba-tiba)
Kakek    :  Ada apa kau? Kau tidak senang aku jadi professor. Kau kepingin aku jadi
                 diplomat? Baik. Aku akan jadi diplomat demi keselamatan perkawinan kita.
Kakek    :  Aku akan segera jadi diplomat sekarang juga. Di mana posku? Negara-negara
                Barat?Timur? Asia? Atau PBB…?
Nenek    :  Ya, PBB saja…
Kakek    :  Tapi…. (Lalu duduk di sofa termenung).
Nenek    :  Itulebih terhormat di PBB. Siapa tahu kau akan dipilih jadi ketua sidang,
                 lantas kelak jadi sekretaris jenderal…(Kakek geleng kepala)
Nenek    :  Kurang besar kedudukan itu. Atau diplomat surgawi saja? (Kakek
                 memandang Nenek)
Nenek    :  tapi itu lebih sukar, sebab Tuhan susah diajak berdebat. Tuhan Cuma diam
                 saja. Orang hanya mengerti apa mau Tuhan kalau sudah terlaksana. Sedang
                 rencana-rencana selanjutnya. Masih gelap bukan? Bagaimana kau
 mengajukan argumentasi-argumentasimu jika mau ajak Tuhan berdiskusi?
 (Kakek     geleng kepala)
Nenek    :  Nah, paling terhormat jadilah diplomat wakil republik kita tercinta di PBB…
                 (Kakek geleng kepala)
Nenek    :  Aku sungguh tidak mengerti cita-citamu, Pak.
Kakek    :  Aku ingin jadi diplomat yang diberi pos di kolong jembatan saja…
Nenek    :  Ah, gila. Itu pekerjaan gila.
Kakek    :  Banyak diplomat yang dikirim ke pos-pos manapun di dunia ini. Tapi
pemerintah belum punya wakil untuk bicara-bicara dengan mereka yang adadi kolong jembatan, bukan? Ini tidak adil.Maka aku menyatakan diri.Maka aku menyediakan diri untuk mewakili pemerintahan ini sebagai diplomat kolong jembatan.
Nenek    :  Tapi kau akan terhina
Kakek    :    Selama kedudukan adalah diplomat, di manapun ditempatkan sama saja             terhinanya sama saja mulianya
Nenek    :  Aku tidak rela kalau kau ditempatkan di pos terhina itu.
Kakek    :  Kau belum tahu, justru paling mulia di antara pos-pos di manapun juga.
Nenek    :  Kau sudah tidak waras.
Kakek    :  Seorang diplomat pada hakikatnya adalah seorang yang pandai ngomong.
Pandai meyakinkan orang, pandai membujuk. Orang-orang di kolongjembatan itu perlu dibujuk agar hidup baik-baik. Berusaha mencari pekerjaan yang layak dan timbul kepercayaan diri-sendiri.Tidak sekedar dihalau, diusir, kalau malau ada orang gede lewat saja. Jadi untuk mengatasi tidakan-tindakan kasar ini, perlu ada wakil yang bisa membujuk…
Nenek    :  Ah… bagaimana, nanti kalau aku arisan dan ditanya teman-teman
                 bagaiamana jawabku, Pak. Coba bayangkan, bayangkan…
Kakek    :  Istriku, aku mengerti, bagaimana kau akan turun gengsi nanti. Tapi kau tidak
usah khawatir, kalau kau datang ke arisan yang lima ribuan, dan kau ditanyaorang-orang apa pekerjaanku jawab saja diplomat, titik. Kolong jembatannya tidak usah disebut, kalau kau datang ke arisan yang seratusan, saya kira tak ada salahnya kalau kau ngomong diplomat kolong jembatan…
Nenek    : Tapi kalau teman-teman arisan lima ribuan tanya, di mana posnya…?
Kakek    :  Ah… (memegangi kepala). Begini, diplomat bagian sosial… hebat toh?
Nenek    :  Masak ada diplomat sosial?
Kakek    :  kau ini bagaimana, diplomat itu serba mungkin asal kau pintar main lidah,
beres. Coba, kau kan tahu ada diplomat pimpong, ada diplomasi SPP,diplomasi macam-macam saja ada.
Nenek    :  Ah, susah aku tak ingin kau jadi diplomat, Pak.
Kakek    :  tapi, aku sudah terlanjur cinta dengan pekerjaan itu. 
(Nenek termenung)
Kakek    :  (Memandang Nenek). Susah…
Nenek    :  Siapa?
Kakek    :  Kita semua
Nenek    :  Termasuk para penonton itu?
Kakek    :  Ya.
Nenek    :  Kenapa?
Kakek    :  Karena kita hidup
Nenek    :  Mengapa begitu?
Kakek    :  Orang hidup punya beban sendiri. (Pergi mengambil teko, menuang kopi, lalu meminumnya)
(Nenek memandang tindakan-tindakan sang suami. Kakek membuka stoples lalu memakan makanannya)
Nenek    :  Seorang diplomat harus tahu aturan.
Kakek    :  Apa maksudmu?
Nenek    :  Makan tidak boleh sambil berdiri. Ini adalah adat timur.
Kakek    :  Sudah nyopot dari pekerjaan.
Nenek    :  Mau pindah pekerjaan?
Kakek    :  Ya.
Nenek    :  Apa?
Kakek    :  Teknokrat.
Nenek    :  Gila.
Kakek    :  Aku mau jadi teknokrat dalam bidang….
Nenek    :  Ekonomi?
Kakek    :  Bukan!
Nenek    :  Politik?
Kakek    :  Bukan
Nenek    :  Militer?
Kakek    :  Bukan
Nenek    :  Lalu apa?
Kakek    :  Bidang persampahan
Nenek    :  Apa?
Kakek    :  Bidang sampah-sampah! Ini perlu sekali, salah satu sebab adanya banjir di kota ini, karena orang-orang kurang tahu artinya selokan-selokan itu. Kau lihat di jalan-jalan yang sering tergenang air itu. Coba selokan itu kita keduk, sampahnya luar biasa banyaknya…
(Nenek termenung)
Kakek    :  Kau tidak senang?
Nenek    :  Mengapa kita berpikir yang bukan-bukan?
Kakek    :  Karena kita tak lagi sanggup melihat kenyataan-kenyataan.
Nenek    :  Mengapa?
Kakek    : Kenyataan yang kita lihat, adalah tipuan belaka adanya
Kakek    :  Hidup kita diwarnai dengan cara berpikir yang sadis.
Nenek    :  Ah, makin pusing mendengarkan bicaramu
Kakek    :  Kita berpikir karena kita mengerti. Tapi karena berpikir perlu sistem, sistem membelenggu kita. Kita jadi tolol. Saya lagu-lagu. Saya rindu puisi-puisi. Orang-orang zaman ini tidak mengerti puisi-puisi. Kita sudah jadi robot semua. Berjalan dengan satu disiplin mati. Dengan teori yang tidak kita pahami sendiri… keutuhan manusia sudah dikerdilkan. Hubungan seks tinggal bernilai nafsu. Kesenian diukur filsafat seketika, atau kesenian sudah dikonsepkan. Juga hidup kita didoktrinkan… ini tidak bisa. Akibatnya, kita tenggelam kepada ukuran-ukuran mini. Kita rindu Sofokles, Aristoteles, Albert Camus, Amir Hamzah, Chairil Anwar,… Geoethe, Shakespeare. Mereka harus ditakdirkan kembali di sini. Citra manusian yang terpancar dari karya-karya mereka harus dipancarkan kembali di sini.
Nenek    :  Suamiku… Suamiku… Suamiku… Sudahlah…
Kakek    :  Hidup manusia harus dikembalikan keutuhannya. Manusia harus….
Nenek    :  Sudahlah… (Menuntun ke sofa)
Kakek    :  Manusia harus menghayati hidupnya, bukan menghayati disiplin mati itu…
                 doktrin-doktrin itu harus…harus…
Nenek    : Suamiku, sudahlah nanti penyakit napasmu kumat lagi. Kalau kau terlalu semangat begitu…
Kakek    : Kreatifitas harus dibangkitkan. Bukan dengan konsep-konsep tetapi dengan merangsangnya…dengan menggoncangkan jiwanya agar tumbuh keberaniannya menjadi diri sendiri. Tidak menjadi manusia bebek. Yang cuma meniru, meniru, meniru…(kakek rebah, nenek menjerit).
Nenek    : (Terseduh)
Kakek    : (Bangkit tetapi tidak diketahui oleh nenek). Mengapa kau menangisi aku, tangisilah dirimu sendiri.
Nenek    : Kau masih hidup…?
Kakek    : Aku tidak begitu yakin, selama aku terbelenggu oleh doktrin. Aku hanya mengerti, apa aku hidup atau tidak, kalau aku menghayati hidupku sendiri….
Nenek    : Tetapi kau berbicara, kau bernapas….
Kakek    : Bukan itu ukuran adanya kehidupan.
Nenek    : Jangan bicara yang sukar-sukar, aku tidak mengerti.
Kakek    : Tentu saja, karena kau belum mengerti hidup.
Nenek    : Delapan puluh tahun kujalani hidup. Benarkah aku belum mengerti.
Kakek    : Umur pun bukan ukuran, selama kau menjalani hidup kau mengikuti doktrin-doktrin itu….
Nenek    : Bagaimana seharusnya, Sayangku?
Kakek    : Renungkan dirimu sendiri dan sudah itu menangis!
Nenek    : Nanti saja, kalau sudah tak ada orang banyak….(Terdengar suara jam dinding dua belas kali).
Nenek    : Sudah larut tengah malam.
Kakek    : Ya. Dan sebentar lagi ambang pagi akan datang.
Nenek    : Kita akan menjadi segar kembali.
Kakek    : Dan tambah tua….(Nenek termenung. Kakek termenung)
Nenek    : Kapan kita mati?
Kakek    : Entah. Tapi kita harus siap-siap.
Nenek    : Sungguh ngeri!
Kakek    : Memang. Tapi itulah kenyataannya.
Nenek    : Aku takut.
Kakek    : Aku juga…. (Terdengar lonceng jam dinding dua belas kali)
Nenek    : Dua belas kali….
Nenek    : Aneh! Ini tidak mungkin. Apa aku salah mendengar?
Kakek    : Memang begitu. Kau tidak salah dengar.
Nenek    : Tapi ini di luar kebiasaan. Tadi sudah berbunyi dua belas kali, mestinya bunyi lagi satu kali…, begitu kan?
Kakek    : Mudah-mudahan kau tahu, begitulah hidup. Kebiasaan-kebiasaan, ukuran-ukuran, konsep-konsep tidak terlalu cocok….
Nenek    : Bagaimana cara kita mengerti…?
Kakek    : Itulah soalnya….
(Layar turun, lampu mati)

Kamis, 24 Mei 2012

Tanda Tanya Di Balik Pemekaran Buton Tengah, Serta Misteri Etnisitas dan Bahasa Masyarakat Mawasangka dan Sekitarnya yang Belum Jelas Kepastiannya.


Mungkin nama kampung-tanah kelahiran-saya ini masih asing di telinga sebagian besar masyarakat Sulawesi Tenggara tidak terkecuali Mahasiswa Unhalu Kendari. Pasalnya kampung ini terletak di ujung pulau Muna bagian Selatan. Kok bisa? Ya, mungkin anda bingung mengapa demikian?. Bukankah Kecamatan Mawasangka adalah Kabupaten Buton?. Sama saya juga bingung nih mengapa di ujung Selatan pulau Muna ya letaknya?. Memang sih secara administratif Mawasangka termasuk wilayah Kabupaten Buton. Namun secara Geografis, Mawasangka terletak di Pulau Muna bagian Selatan. Tapi anda semua tidak perlu meragukan kesukuan atau etnisitas saya kok karena saya masih tetap sebagai orang Buton sampai waktu yang belum ditentukan. Mengapa saya berkata demikian?
Pada saat pembentukan empat Kabupaten senior di Sultra yakni ; Buton, Muna, Kolaka, dan Kendari (Konawe), Mawasangka sempat menjadi wilayah sengketa Buton-Muna. Muna mengklaim Mawasangka sebagai wilayahnya atas dasar geografis, sementara Buton mengklaim atas dasar etnoisitas (kesukuan) dan sejarah kesultanan Buton yang sudah menjadi wilayah Kesultanan sejak dahulu. Lagipula ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa masyarakat Mawasangka adalah anak cucu Sultan-Sultan Buton  yang berdomisili di wilayah Muna.  Perang politikpun terjadi. Bahkan persengketaan politik itu tidak tanggung-tanggung  nyaris berujung pada pertumpahan darah. Namun beruntung,  para tokoh-tokoh bijak masyarakat Mawasangka menawarkan solusi yakni diadakannya Pepera(Penentuan Pendapat Rakyat), apakah masyarakat Mawasangka mau masuk  admistratif Muna atau Buton. Solusi itu disetujui oleh para pembesar-pembesar Muna-Buton. Pepera pun diadakan dan hasilnya 90% masyarakat memilih bergabung dengan Buton dan sisanya yang 10% memilih bergabung dengan Muna. Dengan demikian Mawasangka menjadi wilayah administratif Buton melalui pesta demokrasi.
Menurut info yang saya dengar dari para orang-orangtua kampung serta para politisi yang mengetahui hal ini mengatakan bahwa beberapa waktu kemudian setelah Pepera dilakukan pembesar Muna-entah secara sepihak atau melalui kesepakatan-mengintegrasikan Ereke (sekarang Ibukota ‘palsu’ Kabupaten Buton Utara ) dan sekitarnya ke dalam wilayah administratif Kabupaten Muna. Berdasarkan data subjektif ini untuk sementara saya berasumsi bahwa pembesar Muna-Buton mengadakan sistem tukar wilayah. Ereke dan sekitarnya(pulau Buton bagian Utara)masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Muna, sedangkan Mawasangka dan sekitarnya (pulau Muna bagian Selatan) masuk dalam wilayah admistratif Kabupaten Buton.
Tapi anehnya, saat Ereke di mekarkan pada tahun 2006 silam, Ereke di daulat menjadi Ibukota palsu Buton Utara yang sebenarnya Ibukota Buton Utara menurut SK Mendagri adalah Buranga. Perihal nama baru daerah ini (Buton Utara), Ridwan BAE sebagai Bupati Muna pada waktu itu tidak setuju atas penamaan Buton Utara dengan alasan Buton Utara (Ereke) adalah pemekaran dari wilayah Muna. Jadi paling tidak harus menggunakan nama Muna di depan nama baru daerah ini, bukan malah menggunakan nama Buton. Namun melalui rapat darurat dengan pihak-pihak terkait akhirnya nama Buton Utara disepakati dengan pertimbangan letak geografis  daerah pemekaran wilayah Muna ini yang terletak di bagian Utara pulau Buton.
Lalu bagaimana dengan desas desus pemekaran Mawasangka dan sekitarnya seperti Gu, Lakudo, Sangia Wambulu,Mastim, Masmur serta Talaga Raya sebagai daerah otonomi yang akan dimekarkan? Apakah karena Mawasangka dan sekitarnya  terletak di bagian Selatan pulau Muna maka akan menggunakan nama Muna Selatan sebagai nama barunya nanti? Tapi kayaknya penamaan itu tidak akan terjadi sebab penamaan daerah yang akan dimekarkan ini telah mengalami perubahan beberapa kali. Pertama pada tahun 2002 rencana akan dinamakan Gulamasta sebagai akronim dari Kecamatan Gu, Lakudo, Mawasangka, Mastim, Masmur, Sangia Wambulu, dan Talaga Raya, kemudian pada tahun 2004 rencana akan dinamakan Buton Barat, dan tahun 2006 rencana akan dinamakan Buton Tengah dan sampai saat ini belum ada perubahan nama.
Tapi sungguh sayang seribu kali sayang  pemekaran daerah ini tidak kunjung terealisasi dengan berbagai macam alasan mulai dari Ibukotanya yang masih dipertanyakan karena Mawasangka dan Lakudo ternyata sama-sama berjuang untuk menjadi Ibukota Buton Tengah, kemudian adanya isu dihentikannya dulu proses pemekaran atas perintah dari Presiden dengan alasan merosotnya keuangan Negara karena membiayai daerah pemekaran, dll. Khusus untuk alasan pertama, Kemendagri dan Komisi II DPR yang mengurus masalah pemekaran sudah meninjau kedua Lokasi yang sama-sama strategis ini. Namun nyatanya sampai detik ini belum terealisasi pemekaran itu. Bagaimana juga ituwe?
Bahkan  Mawasangka sudah didahului oleh Wakatobi dan Bombana yang dimekarkan pada tanggal 18 Desember 2004, padahal jika dihitung-hitung, Mawasangka jauh lebih tua umurnya jika dibandingkan dengan Kecamatan lainnya yang ada di Buton bahkan sebelum Buton dimekarkan. Tapi mengapa sampai sekarang Mawasangka belum mekar-mekar  ya? Apa memang karena dari dulu kami masyarakat Mawasangka ini hanya dibohongi oleh para penguasa di Kabupaten Buton demi kepentingan pribadinya atau memang karena Buton tidak mau melepas Mawasangka? Tapi tenang saja. Saya sama sekali tidak mempertanyakan umur Bombana dan Wakatobi kok. Saya juga tidak iri dengan mekarnya Wakatobi dan Bombana yang mendahului Mawasangka.
Oke!! Oke!! Oke!! Bro mungkin saya terlalu jauh masuk lorong dalam pembahasan ini. Mungkin karena saya hanya ingin mengeluarkan unek-unek-oh kaya Uya Kuya aja nich- yang belum keluar selama ini. Yah memang pernyataan dalam tiga paragraf terakhir tadi mungkin saja akan dianggap sebagai omong kosong seorang Andre alias Arwahid yang sok tahu sejarah, politik, tata negara dan hal yang lain. Mohon maaf sebelumnya karena saya hanya ingin berbagi pengetahuan sekalipun pengetahuan yang saya berikan  itu sudah diketahui oleh semua orang atau bahkan tidak ada benarnya sama sekali  tapi setidaknya anda sudah membaca tulisan saya yang tidak ada apa-apanya ini dan kalau ada baiknya diambil dan buruknya dibuang atau kalau buruk semua dibuang saja semuanya karena sejauh ini hal itu yang saya ketahui berdasarkan beberapa sumber seperti informan, koran, majalah, jurnal, televisi, dan buku bacaan yang lainnya.
Beberapa hal yang menarik perhatian saya dari Mawasangka ini adalah dua hal, yakni ; masalah etnisitas(kesukuannya)dan kebahasaannya. Saya sempat mengadakan tanya jawab dengan beberapa orang warga Ereke(Buton Utara).  Pertanyaan saya kepada mereka begini ; “Orang Ereke dan sekitarnya itu orang Muna atau Buton? Dan semua jawaban yang saya dapat semua begini intinya ; “Orang Buton Toh”.  Bandingkan dengan jawaban orang Gulamasta berdasarkan pertanyaan ini ; ”Orang Gulamasta itu orang Buton atau Muna? Dan semua jawaban yang saya dapat juga begini intinya : Orang Buton Dank.
Masalah ini mungkin tidak ada apa-apanya. Tapi bagi saya pribadi ini memiliki keunikan tersendiri. Lihat saja orang Ereke yang wilayah administratif Muna bilang bahwa mereka orang Buton bukan orang Muna. Tapi di Mawasangka yang wilayah administratif Buton tidak bilang kalau mereka orang Muna. Mereka justu bilang bahwa mereka adalah orang Buton. Padahal ‘katanya’ bahasa Mawasangka merupakan salah satu dialek dari Bahasa Muna atau dengan kata lain induk bahasa Mawasangka adalah bahasa Muna tapi mengapa orang Mawasangka bukan Orang Muna? Apakah bahasa Mawasangka hanya meminjam bahasa Muna? Kalau memang dipinjam, kapan dikembalikan ya? Atau mencuri bahasa Muna dan memodifikasinya? Waow kaya motor saja dimodifikasi. Bagaimana juga itu we????
Banyak para peneliti bahasa yang mengatakan bahwa bahasa Gu, Lakudo, Mawasangka, Siompu, Kadatua, Talaga, dan Lowu-lowu(Gulamasikatalo)berindukan bahasa Muna. Benarkah demikian? Mereka mengatakan demikian karena katanya yang disebut dialek adalah saat penutur bahasa induk bercakap dengan penutur bahasa turunan(dialek bahasa induk)mereka saling memahami bahasa masing-masing. Tapi kenyataannya di lapangan dan berdasarkan realita,nggak segitunya kalle!!! banyak orang Muna yang tidak mengerti bahasa turunannya seperti bahasa Mawasangka ini. Yang ada justru orang Mawasangka yang agak tahu mengerti bahasa Muna ini. Jadi teorinya gugur karena hanya satu pihak yang mengerti bahasa pihak yang lain dan tidak ada kesalingan. Sekalipun dapat dirumuskan bahwa ;                                                                                                                                             
/Gh /(ghule=ular), /h/ (nehamai=di mana), dan /r/ (morondo=tadi malam) dalam bahasa Muna --->; /‘//bunyi glotal  (‘ule=ular),/ ’//bunyi glotal (ne’amai=di mana) dan/ h/ (mohondo=tadi malam) dalam bahasa Gulamaskalo. Sedangkan dalam bahasa Sita (Siompu&Talaga) /gh/&/h/ sama berubahnya dengan bahasa Gulamaskalo hanya /r/ yang tidak berubah menjadi /h / tapi tetap menjadi /r/ dalam bahasa Sita. Sekalipun demikian, banyak juga kosakata-kosakata yang tidak sama antara bahasa Muna dan Gulamasitakalo terlepas dari kata ‘turunan’ seperti yang dirumuskan diatas.


Misalnya kata garam, gunung, memasak, daun kelor, nasi, kurus, gemuk, masing-masing dalam bahasa Muna adalah ; ghohia, kabhawo, ghau, bhanggai, ghoti, warangka, rombu. Sedangkan dalam bahasa Gulamaskalo adalah ; gaha, gunu, foonda, kaudhawa, hodhaku, bhalabuku. Tidak sama sama sekali bukan?
Coba bandingkan dengan orang Ereke dan Wawonii, bahasanya jauh hampir lebih mirip dibanding Mawasangka dan Muna kan? Tapi mengapa bahasa Ereke dan Wawonii tidak di kenal istilah bahasa induk dan bahasa turunan sama halnya dengan bahasa Muna-Mawasangka? Padahal dalam Wawonii jika ada fonem /t/ maka dalam bahasa Ereke akan berubah manjadi fonem /c/  jika mendahului huruf /i/ dan /u/. Misalnya ; bakar, batu, masing-masing dalam bahasa Wawonii ; tunu, watu. Sedangkan dalam bahasa Ereke ; cunu, wacu.
Bisa jadi saya belum terlalu ahli dalam hal ini. Tapi saya tetap yakin kalau bahasa Mawasangka atau bahasa Gulamasikatalo bukanlah turunan dari bahasa Muna. Jika bahasa Muna-Mawasangka dianggap bahasa induk-turunan karena faktor geografis bagaimana dengan bahasa sejenis bahasa Mawasangka yang ada di Kec. Masaloka Raya Kabupaten Bombana, dan Kel. Dongkala, Kel. Lambale, dan Desa Tapuhaka Kec. Kabaena Timur Kab. Bombana, Kec. (Pulau) Maginti Kab. Muna,  serta sebagian besar wilayah Bau-Bau? Bukankah semua wiayah ini saling berjauhan satu sama lain? Bahkan dipisahkan oleh lautan. Tapi bahasanya persis Jadi bahasanya non-geografis. Tapi mengapa ada kesamaan bahasa itu? Jadi menurut saya pribadi, bukan faktor geografis yang mempengaruhi penyebaran bahasa tapi karena arus mobilisasi penutur yang membawa bahasa itu ke tempat lain.
Tapi ternyata memang banyak juga sekelompok masyarakat Gulamasikatalo yang mengatakan kalau bahasa Gulamasikatalo adalah bahasa Muna, atau bahasa Kadatua. Memang secara kuantitatif saya kalah jumlah dengan kedua kubu ini. Tapi sebagai seorang pencinta kebenaran saya harus mengatakan bahwa “kebenaran itu benar bukan karena banyaknya yang mendukung dan percaya kalau dia benar, tapi kebenaran itu benar karena dia memang benar, dan kebenaran tidak bisa didemokratisasikan.”

Sastra Lama Daerah Buton Mawasangka

PUISI DAN PROSA LAMA DALAM DAERAH BUTON
1. PUISI LAMA DAERAH BUTON
1) Syair Buton
Dalam syair Kabanti Kanturuna Mohelana (sastra klasik Buton) berikut ini :
Tuamosi yaku kupatindamo,
Ikompona incema euyincana,
Kaapaaka upeelu butuni,
Kumaanaia butuni o kompo,
Motodhikana inuncana qura’ani,
Itumo dhuka nabita akooni,
Apayincana sababuna tanasiy,
Tuamo siy auwalina wolio,
Inda kumondoa kupetula-tulakea,
Sokudhingki auwalina tuasiy,
Toakana akosaro butuni,
Amboresimo pangkati kalangana,
Artinya :
Demikian inilah saya bertanya, Diperut siapa engkau tampak, Karena engkau suka butuni, Kuartikan butuni mengandung, Yang terdapat dalam Al Qur’an, Disitu pula Nabi bersabda, Menjadi asal sebab tanah Wolio, Demikian ini awalnya Wolio, Tidak selesai kuceritakan semua, Sebabnya bernama butuni, Karena menempati derajat yang tinggi.
2) Pantun Buton (Mawasangka)
(1) Pantun Muda-Mudi
Ambeli-mbeli ne bhau-bhau
Awoha lambu nopotala-tala
Mahingga amate ne kapulu
Sumanomo apooli cewe ma ngadha
Artinya :
Jalan-jalan ke Bau-Bau
Lihat rumah berbaris-baris
Biar mati di ujung keris
Asal dapat cewe yang cantik
(2) Pantun Jenaka
Manu ka’ito nopute untelino
Ane dhofumaa’e nombaka sia’e
Kalambe ka’ito nopute wangkano
Ane nofutaa nokolo sia’e
Artinya :
Ayam hitam putih telurnya
Kalau dimakan enak sekali
Cewe hitam putih giginya
Kalau tetawa kecut sekali
(3) Pantun Orangtua
Kalangkeno gunu kabhaeno watu
Nolangke dhua Kawasana Ompu
Mehingga do’ohi sehewu ta’u
Percuma ane desambaheya’a
(4) Pantun Teka-Teki
Ande opande ondofi kenta
Ondofikanau kenta mongiwa
Ane opande pogau Mawasangka
Fombakanau ma’anano wangka
Artinya :
Kalau kamu pandai mencari ikan dilaut
Tolong carikan si ikan Hiu
Kalau kamu pandai bahasa Mawasangka
Coba artikan kata ‘wangka'

2. PROSA LAMA DAERAH BUTON
1) Sejarah (Tambo) Buton
Buton adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah tenggara Pulau Sulawesi. Pada zaman dahulu di daerah ini pernah berdiri kerajaan Buton yang kemudian berkembang menjadi Kesultanan Buton.
Buton dikenal dalam Sejarah Indonesia karena telah tercatat dalam naskah Nagarakretagama karya Prapanca pada Tahun 1365 Masehi dengan menyebut Buton atau Butuni sebagai Negeri (Desa) Keresian atau tempat tinggal para resi dimana terbentang taman dan didirikan lingga serta saluran air. Rajanya bergelar Yang Mulia Mahaguru. Nama Pulau Buton juga telah dikenal sejak zaman pemerintahan Majapahit. Patih Gajah Mada dalam Sumpah Palapa, menyebut nama Pulau Buton.
Cikal bakal negeri Buton untuk menjadi sebuah Kerajaan pertama kali dirintis oleh kelompok Mia Patamiana (si empat orang) yaitu Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo, Sijawangkati yang oleh sumber lisan mereka berasal dari Semenanjung Tanah Melayu pada akhir abad ke – 13.
Mereka mulai membangun perkampungan yang dinamakan Wolio (saat ini berada dalam wilayah Kota Bau-Bau serta membentuk sistem pemerintahan tradisional dengan menetapkan 4 Limbo (Empat Wilayah Kecil) yaitu Gundu-gundu, Barangkatopa, Peropa dan Baluwu yang masing-masing wilayah dipimpin oleh seorang Bonto sehingga lebih dikenal dengan Patalimbona. Keempat orang Bonto tersebut disamping sebagai kepala wilayah juga bertugas sebagai pelaksana dalam mengangkat dan menetapkan seorang Raja. Selain empat Limbo yang disebutkan di atas, di Buton telah berdiri beberapa kerajaan kecil seperti Tobe-tobe, Kamaru, Wabula, Todanga dan Batauga. Maka atas jasa Patalimbona, kerajaan-kerajaan tersebut kemudian bergabung dan membentuk kerajaan baru yaitu kerajaan Buton dan menetapkan Wa Kaa Kaa (seorang wanita bersuamikan Si Batara seorang turunan bangsawan Kerajaan Majapahit) menjadi Raja I pada tahun 1332 setelah mendapat persetujuan dari keempat orang bonto/patalimbona (saat ini hampir sama dengan lembaga legislatif).
Dalam periodisasi Sejarah Buton telah mencatat dua Fase penting yaitu masa Pemerintahan Kerajaan sejak tahun 1332 sampai pertengahan abad ke – 16 dengan diperintah oleh 6 (enam) orang raja diantaranya 2 orang raja perempuan yaitu Wa Kaa Kaa dan Bulawambona. Kedua raja ini merupakan bukti bahwa sejak masa lalu derajat kaum perempuan sudah mendapat tempat yang istimewa dalam masyarakat Buton. Fase kedua adalah masa Pemerintahan Kesultanan sejak masuknya agama Islam di Kerajaan Buton pada tahun 948 Hijriah ( 1542 Masehi ) bersamaan dilantiknya Laki La Ponto sebagai Sultan Buton I dengan Gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis sampai pada Muhammad Falihi Kaimuddin sebagai Sultan Buton ke – 38 yang berakhir tahun 1960.
Dibidang hukum dijalankan sangat tegas dengan tidak membedakan baik aparat pemerintahan maupun masyarakat umum. Hal ini terlihat dari ke 38 orang sultan yang memerintah di Buton , 12 orang menyalahgunakan kekuasaan dan melanggar sumpah jabatan dan satu diantaranya yaitu Sultan ke - VIII Mardan Ali, diadili dan diputuskan untuk dihukum mati dengan cara leher dililit dengan tali sampai meninggal yang dalam bahasa wolio dikenal dengan istilah digogoli .
Bidang perekonomian dimana Tunggu Weti sebagai penagih pajak di daerah kecil ditingkatkan statusnya menjadi Bonto Ogena disamping sebagai penanggung jawab dalam pengurusan pajak dan keuangan juga mempunyai tugas khusus selaku kepala siolimbona (saat ini hampir sama dengan ketua lembaga legislatif).
Bidang Pertahanan Keamanan ditetapkannya Sistem Pertahanan Rakyat Semesta dengan falsafah perjuangan yaitu :
“Yinda Yindamo Arata somanamo Karo” (Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri)
“Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu” (Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri)
“Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara” (Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah)
“Yinda Yindamo Sara somanamo Agama” (Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama)
Disamping itu juga dibentuk sistem pertahanan berlapis yaitu empat Barata (Wuna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa), empat matana sorumba (Wabula, Lapandewa, Watumotobe dan Mawasangka) serta empat orang Bhisa Patamiana (pertahanan kebatinan).
Selain bentuk pertahanan tersebut maka oleh pemerintah kesultanan, juga mulai membangun benteng dan kubu–kubu pertahanan dalam rangka melindungi keutuhan masyarakat dan pemerintah dari segala gangguan dan ancaman. Kejayaan masa Kerajaan/Kesultanan Buton (sejak berdiri tahun 1332 dan berakhir tahun 1960) berlangsung ± 600 tahun lamanya telah banyak meninggalkan warisan masa lalu yang sangat gemilang, sampai saat ini masih dapat kita saksikan berupa peninggalan sejarah, budaya dan arkeologi. Wilayah bekas Kesultanan Buton telah berdiri beberapa daerah kabupaten dan kota yaitu : Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana, Kabupaten Buton Utara, dan Kota Bau-Bau.
Raja-raja Buton
1.    Raja ke I Wa Kaa Kaa 1311
2.    Raja ke II Bulawambona
3.    Raja ke III Bataraguru
4.    Raja ke IV Tua Rade
5.    Raja ke V Mulae
6.    Raja ke VI Murhum
Sultan-Sultan Buton
1.    Sultan ke-1 Murhum dengan gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis (1491-1537),
2.    Sultan ke-2 La Tumparasi (1545-1552) dengan gelar Sultan Kaimuddin,
3.    Sultan ke-3 La Sangaji (1566-1570) dengan gelar Sultan Kaimuddin,
4.    Sultan ke-4 La Elangi (1578-1615) dengan gelar Sultan Dayanu Iksanuddin,
5.    Sultan ke-5 La Balawo (1617-1619)
6.    Sultan ke-6 La Buke (1632-1645)
7.    Sultan ke-7 La Saparagau (1645-1646)
8.    Sultan ke-8 La Cila (1647-1654)
9.    Sultan ke-9 La Awu (1654-1664) dengan gelar Sultan Malik Sirullah,
10.    Sultan ke-10 La Simbata (1664-1669) dengan gelar Sultan Adilil Rakhiya,
11.    Sultan ke-11 La Tangkaraja (1669-1680) dengan gelar Sultan Kaimuddin,
12.    Sultan ke-12 La Tumpamana (1680-1689) dengan gelar Sultan Zainuddin,
13.    Sultan ke-13 La Umati (1689-1697)
14.    Sultan ke-14 La Dini (1697-1704) dengan gelar Sultan Syaifuddin,
15.    Sultan ke-15 La Rabaenga (1702)
16.    Sultan ke-16 La Sadaha (1704-1709) dengan gelar Sultan Syamsuddin,
17.    Sultan ke-17 La Ibi (1709-1711) dengan gelar Sultan Nasraruddin,
18.    Sultan ke-18 La Tumparasi (1711-712) dengan gelar Sultan Muluhiruddin Abdul Rasyid,
19.    Sultan ke-19 La Ngkarieri (1712-1750) dengan gelar Sultan Sakiyuddin Duurul Aalam,
20.    Sultan ke-20 La Karambau (1750-1752)Sultan Himayatuddin Ibnu Sultaani Liyaauddin Ismail
21.    Sultan ke-21 Hamim (1752-1759) dengan gelar Sultan Sakiyuddin,
22.    Sultan ke-22 La Seha (1759-1760) dengan gelar Sultan Rafiuddin,
23.    Sultan ke-23 La Karambau (1760-1763)Sultan Himayatuddin Ibnu Sultaani Liyaauddin Ismail
24.    Sultan ke-24 La Jampi (1763-1788) dengan gelar Sultan Kaimuddin,
25.    Sultan ke-25
26.    Sultan ke-26 La Kaporu (1791-1799) dengan gelar Sultan Muhuyuddien Abdul Gafur,
27.    Sultan ke-27 La Badaru (1799-1822) dengan gelar Sultan Dayanu Asraruddin.
28.    Sultan ke-28 La Dani (1823-1824)
29.    Sultan ke-29 Muh. Idrus (1824-1851)
30.    Sultan ke-30 Muh. Isa (1851-1861)
31.    Sultan ke-31 Muh. Salihi (1871-1886)
32.    Sultan ke-32 Muh. Umar (1886-1906)
33.    Sultan ke-33 Muh. Hasiki (1906-1911)
34.    Sultan ke-34 Muh. Husain (1914)
35.    Sultan ke-35 Muh. Ali (1918-1921)
36.    Sultan ke-36 Muh. Saifu (1922-1924)
37.    Sultan ke-37 Muh. Hamidi (1928-1937)
38.    Sultan ke-38 Muh. Falihi (1937-1960)
2)    Fabel Landoke-Ndoke Te Manu
Pada zaman dahulu, kera dengan ayam bersahabat karib. Pada suatu hari kera mengundang sahabatnya untuk pergi melancong. Karena sibuknya mereka melihat-lihat keindahan alam, mereka lupa petang. Dalam perjalanan, kera merasa lapar. Karena laparnya itu, kera menangkap kawannya sambil berkata: “aku akan memakan kamu”. Ayam itu menggelepar-gelepar. Semua bulunya dicabuti oleh kera. Oleh karena ayam itu kuat, maka terlepaslah ia dari tangan kera, lalu ia lari mencari sahabatnya yang lain, yakni kepiting.
Ketika bertemu kepiting, ayam menceritakan hal-ikhwal kejadian yang dialaminya itu kepada sahabatnya. Dengan keheran-heranan, kepiting itu berkata: “kalau kita mencari kawan, kita harus tahu memilih mana kawan yang setia dan mana yang tidak. Marilah masuk ke dalam rumah saya ini”.
Masuklah ayam itu ke dalam rumah kepiting sambil ia meminta tolong untuk mengembalikan bulunya seperti semula. Kepiting itu memandikan kawannya (ayam) dengan santan. Begitu dibuatnya setiap hari, sehingga hanya beberapa hari saja, bulu ayam itu tumbuh. Lama kelamaan bulu ayam itu tumbuh dan telah kembali seperti semula. Ayam itu lalu bertanya kepada kepiting: “bagaimanakah akalnya untuk membalas dendam kepada kera itu, sedang ia lebih tangkas dari kita”. Jawab kepiting: “kamu bantu saya membuat perahu dari tanah yang saya keluarkan dari lubangku. Bilamana sudah selesai, kamu pergi undang kera, kita menyeberang ke pulau sana yang banyak buah-buahan”.
Bekerjalah mereka berdua membuat perahu dari tanah. Setelah selesai, lalu ayam pergi mencari sahabatnya, kera. Setelah bertemu, ayam mengundang kera sahabatnya untuk menyeberang pada sebuah pulau yang banyak buah-buahannya dan pemandangannya sangat indah.
Kera itu bertanya: “Di manakah kita mendapat perahu untuk menyeberang?” Jawab ayam: “Nanti saya ajak kawan saya kepiting dan ia ahli di perahu”. Mendengar itu, kera sangat gembira kerena dipikirnya bahwa kalau mereka tiba di pulau itu, tentu ia akan puas memanjat dan memakan buah-buahan, sedang kawannya tentu akan kelaparan karena tidak tahu memanjat.
Segera ayam menemui kepiting, sambil menyiapkan perahu yang pernah mereka buat. Kemudian memanggil kera. Dengan merasa bangga, kera melompat ke dalam perahu. Kera tidak mengetahui bahwa ayam dan kepiting sudah bermufakat bahwa kalau di tengah laut,  bilamana ada komando, akan dilaksanakan dengan diam-diam, supaya perahu bocor dan tenggelam. Maka berangkatlah mereka dengan perasaan gembira. Tiba di tengah laut, ayam itu bernyanyi-nyanyi. Demikian nyanyiannya: “Aku lubangi lho!!” Kepiting menjawab pantun temannya: “tunggu sampai dalam sekali lho!!”
Lalu, kemudian ayam mulai mencontok-contok perahu itu, akhirnya perahu itu bocor, lalu tenggelam. Setelah perahu tenggelam, kepiting menyelam kedasar laut dan ayam terbang ke darat. Sial bagi kera yang tidak tahu berenang, sehingga ia mati lemas di tengah laut.
3)    Dongeng Buton Tentang Wa Ndiu-Ndiu
Dahulu kala hiduplah seorang wanita dengan dua orang anaknya, dia hanya tinggal bertiga karena suaminya telah tiada. Kedua anaknya diberi nama, sang kakak bernama La Nturungkoleo dan sang adik bernama La Mbata-mbata . Mereka hidup dalam kemiskinan, dan sangat memprihatinkan, untuk makan sehari-hari begitu susahnya, akan tetapi namanya seorang ibu tidak ingin melihat anaknya menderita dan mati kelaparan. Si Ibu berusaha mati-matian untuk membahagiakan kedua putranya, karena di daerah kami seorang anak laki-laki mempunyai panggilan khusus yaitu dipanggil dengan awalan La, misalnya La Andi, begitu pula dengan perempuan dipanggil dengan awalan Wa misalnya Wa Eni.
Suatu hari kedua anaknya merintih ingin makan ikan, dan merengek pada ibunya untuk mencarikan ikan untuk mereka, maka si Ibu berangkatlah ke laut untuk mencari ikan, dan kepergiannya itu membuatnya untuk pergi dan tidak kembali lagi, konon si Ibu telah menjadi seekor duyung, yang dikenal dengan sebutan Wa Ndiu-ndiu, setiap hari kedua anak itu pergi ke laut menanti ibunya untuk kembali pada mereka, akan tetapi takdir berkata lain ibunya telah pergi dan takan pernah kembali, menyesalah kedua anaknya, gara-gara ingin makan ikan membuat ibunya pergi untuk selamanya, maka tinggalah mereka berdua sebatang kara di dunia ini.
Setiap kali kedua anak itu ketepi laut, mereka sering bernyanyi untuk menghibur diri mereka, dan berharap si Ibu mendengarkan dan mau kembali ke daratan, berikut penggalan lagunya :
“Wa Ina Wa ndiu-ndiu maipo susu andiku, andiku La Mbata-mbata, Wa kaaku La Nturungkoleo”
(Wahai mamaku si ikan duyung, marilah susuin adikku, adikku La Mbata-mbata, kakakku La Nturungkoleo)
Semoga kita bisa mengambil hikmah dari penggalan cerita rakyat di atas, yaitu kita harus senatiasa berbakti kepada kedua orang tua kita, terutama ibu, yang telah melahirkan dan merawat kita dengan penuh kasih sayang, dan mensyukuri segala nikmat yang telah diberikan oleh Yang Maha Kuasa.
4)    Hikayat Sipanjonga
Dalam hikayat Sipanjonga “Mia Patamia” terdiri atas empat orang: Sipanjonga, Simalui, Sitanamajo, dan Sijawangkati. Dikisahkan pemimpin kelompok pelayaran bernama Sipanjonga, seorang hartawan dan dermawan berasal dari Pulau Liyaa di Johor. Sebelum keberangkatan kelompok itu, Sipanjonga bermimpi didatangi seorang tua yang menasihatinya agar pergi ke tempat yang lebih baik.
Maka berkata orang tua itu kepada Sipanjonga “hee cucuku, apa juga sudahnya cucuku tinggal di dalam pulau ini, lebih baik engkau mencari lain tempat yang lebih baik dari pulau ini. Maka kata Sipanjonga “hee nenekku, bagaimana aku pergi mencari lain tempat daripada pulau ini. Maka kata orang tua itu “cucuku buatlah perahu di ujung pulau ini supaya boleh cucuku pergi sekalian dengan segala keluarga cucuku”.
Kemudian Sipanjonga memerintahkan hamba sahayanya membuat perahu yang diberi nama “palulang”. Perahu ini segera dimuati sekalian orang beserta harta sekalian jenis emas, perak, tembaga, suasa, dan permata, intan baiduri, mutiara, dan lain sebagainya. Keberangkatan Sipanjonga digambarkan demikian:
“Maka layar perahu pun dipasang oranglah merapat kiri kanannya. Maka Sipanjonga pun naiklah ke palulang serta dengan segala bunyi-bunyian. Itulah adat segala anak raja-raja yang besar-besar di dalam negeri. Maka kepada hari yang baik dan saat yang baik maka Sipanjonga pun menyuruh orangnya bongkar sauh, maka orang pun hadirlah masing-masing dipegangnya. Maka meriam pun pasang oranglah kiri kanan dan bunyi-bunyiannya dipalu oranglah. Terlalu khidmat bunyinya dan layar pun dibuka orang, maka angin bertiuplah terlalu keras jalannya palulang itu, seperti burung rajawali pantasnya. Dengan seketika juga Pulau Liyaa itu lepas dari pada mata orang banyak”.
Dalam kisah, Sipanjonga terdampar di Pulau Malalang setelah tujuh malam lamanya kemudian melanjutkan pelayarannya. Sewaktu menunggu itu, Sipanjonga mendengar suara: “Hee Sipanjonga janganlah engkau berduka cita atas pekerjaanmu karena engkau melakukan dirimu seperti demikian itu. Kembalilah engkau ke pilangmu, bukan tempat bagimu pada pulau ini. Hendaklah engkau segera berlayar menuju matahari. Adalah sebuah pulau besar “Butuni” namanya disebut orang. Disanalah engkau duduk yang sedia insya Allahu Ta’aala. Kemudian hari itu pula dapat menjadi sebuah negeri yang besar-besar beribu-ribu orangnya lagi beroleh ‘anak-anak’ seorang laki-laki dan cucumu maha banyak dan anakmu itupun mendapat seorang ‘perempuan’ didalam buluh gading yaitu menjadi raja didalam negeri itu lagi anakmu itu kaya kekal kekayaannya datang kepada anak cucumu dengan berkat orang yang didapat didalam buluh itu”.
Pendaratan rombongan Sipanjonga di Pulau Butun terbagi dalam dua: kelompok yang dipimpin Sipanjonga dan Simalui di Kalampa, dan kelompok Sitanamajo dan Sijawangkati di Walalogusi. Mereka mendirikan permukiman di pesisir dan akhirnya bersatu di Kalampa. Akan tetapi dalam perjalanannya perkampungan itu sering mendapat serangan perompak. Dikisahkan pula Sijawangkati memasuki ke pedalaman untuk menebang pohon enau. Rupanya wilayah itu sudah dikuasai seorang bernama Dungkungcangia. Berkali-kali Sijawangkati menebang pohon itu membuat Dungkungsangia marah. Ia lalu menebang pohon yang lebih besar dari yang ditebang Sijawangkati. Melihat hasil tebangannya itu, Sijawangkati menganggap si penebang pastilah bukan sembarang orang. Iapun lalu mengikat hasil tebangan itu dengan seutas tali.
Kini Dungkungcangia yang mengira pelakunya manusia luar biasa. Tibalah mereka bertemu dan saling mengadu kesaktiannya. Tidak ada yang kalah dan menang. Mereka sepakat untuk berdamai dan membentuk ikatan persaudaraan. Kemudian diketahui Dungkungcangia adalah raja Tobe-Tobe. Ia menyerahkan wilayahnya masuk ke dalam kerajaan Butun. Mitos ini menggambarkan proses adapti dan integratif antara pendatang dan orang yang “lebih dahulu” tinggal di Pulau Butun. Dalam konteks masyarakat Butun sesungguhnya tidak ada pengertian penduduk “asli”.
Konon Dungkungcangia adalah salah satu panglima pasukan Khubilai Khan yang tercerai dari induknya sewaktu dipukul mundur oleh Raden Wijaya pendiri kerajaan Majapahit. Memang dikenal ada tiga orang panglima dalam pasukan Khubilai Khan yang menyerang Jawa pada abad ke-13: Shihpi, Iheh-mi-shih, dan Kau Hsing. Entah mana yang kemudian dikenal sebagai Dungkungcangia.
Menurut tradisi lokal pula disebutkan Dungkungcangia terdampar di pantai timur Butun. Sewaktu melakukan penelitian lapangan awal Agustus 1995, penulis masih dapat melihat kerangka perahu yang dipercaya penduduk Desa Wabula, sebagai perahu yang terdampar dahulu digunakan Dungkungcangia. Mereka masih merawat sebagai barang keramat. Menarik nama Wabula untuk desa di tepian pantai itu. Dalam bahasa Wolio, Wa (Ode) menunjuk pada jenis perempuan, La (Ode) = untuk laki-laki), sedangkan bula artinya putih. Dikisahkan pula bahwa ada seorang perempuan Cina yang turut dalam penumpang perahu yang terdampar itu. Menurut keyakinan setempat, penduduk di sana adalah keturunan dari “si perempuan putih” itu.
Tentang seorang manusia yang muncul dari “buluh (bambu)”, merupakan kisah lokal dari Muna. Adalah mitos terbentuknya perkampungan pertama bernama Wamelai, sekarang bagian dari Kampung Tongkuno. Komunitas ini hidup berburu dan membuka ladang. Sistem kemasyarakatannya dipimpin oleh seorang yang disebut mieno. Sewaktu sekelompok orang mencari bambu untuk membuat rumah besar untuk mieno, terjadilah suatu peristiwa. Ketika seorang mengayunkan parang menebang bambu maka terdengarlah suara “aduh kakiku” lalu ketika diayunkan ke atas sedikit terdengar lagi “aduh pinggangku” dan ketika sampai di bagian atas terdengar lagi “aduh kepalaku”. Maka dibawalah bambu itu ke Wamelai dan dijaga dengan hati-hati.
Setelah beberapa hari terdamparlah sebuah palangga di pantai yang berisi seorang perempuan. Ia adalah anak raja Luwu yang sengaja dikirim ke timur karena belum juga mendapat jodoh. Ia diberi nama Sangke Palangga dan dipertemukan dengan bambu ‘ajaib’ itu. Maka terdengarlah suara dari bambu: “inilah isteri saya”, dan dijawabnya “saya datang memang untuk tuan”. Dari bambu keluarlah seorang laki-laki yang kemudian dikenal sebagai Beteno ne Tombula. Dari pasangan inilah yang menurunkan penduduk Muna. Mitos semacam ini terdapat pula yaitu munculnya Wa Kaa Kaa seorang perempuan yang kemudian menjadi raja perempuan Butun.
Salah satu fungsi mitos memang adalah sebagai faktor integratif atau pembentuk solidaritas masyarakat. Begitulah ketika Sipanjonga berkawin dengan Sabanang, saudara perempuan Simalui, melahirkan anak laki-laki bernama Betoambari (nama bandara di Bau-Bau sekarang). Betoambari dikenal sebagai tokoh penting kerajaan Butun. Ia pula yang mengawinkan Wa Kaa Kaa, adalah puteri Batara Guru yang bermukim di langit, dengan Sibatara seorang keturunan dari Majapahit (Vonk 1937:20). Alur ceritera memang tidak usah harus dirunut dengan logis yang utama adalah bagaimana pembenaran dan legitimasi bagi sebuah tatanan sosial-politik hendak dibangun. Maka begitu pula ketika mitos dari “dunia Bugis” yang lain pun berkaitan dengan mitos-mitos di atas dalam uraian di bawah ini. Mengenai asal-usul penduduk, dikenal pula adanya mitos dari Luwu yang dianggap merupakan “the cradle of civilization” di Sulawesi Selatan. Dilihat dari perspektif Luwu, Butun dan Muna merupakan daerah “pinggiran”. Asal-usul penduduk kesultanan berasal dari kedua pulau itu, seperti di bawah ini:
“Dahulu di sini adalah air. Sampai pada suatu hari berlayarlah sebuah perahu mengarungi laut itu, yang ditumpangi seorang laki-laki bernama “SAWERIGADI”. Perahunya terdampar. Sawerigadi adalah anak raja Luwu dan oleh ibunya diperintahkan berkeliling dunia dengan membawa “ayam kuning”. Ia dianggap sebagai “orang mulia”, seorang yang menempati strata tinggi. Tempat terdamparnya perahu itu pada satu tanah besar di tengah laut, yang kemudian menjadi Pulau Muna. Juga diketahui gunung tempat perahu terdampar masih ada bernama “Gunung Bakutara” dan terletak di dekat Kota Muna dahulu. Di gunung itu masih tegak batu berbentuk perahu. Dari tempatnya terdampar, Sawerigadi berjalan menuju daratan ke Wisenekontu, dekat kampung Tanjung Batu sekarang, dari sana ia lalu kembali ke negerinya. (Wisenekontu berati “menghadap ke batu”). Raja Luwu kemudian mengirimkan sejumlah orang-orangnya pergi melihat perahu Sawerigadi. Sebagian orang-orang itu tetap tinggal dan merekalah penduduk pertama Muna”
5)    Legenda Pantai Kataana Di Buton
Suatu ketika beberapa remaja putri sedang menikmati permadian disebuah pantai di kampung Wabagere. Mereka sangat menikmati suasana tersebut dengan riang sambil menanti datangnya senja disore hari, seolah hari-hari yang mereka lewati begitu indah dan menyenangkan, maklum mereka adalah putri-putri dari bangsawan kerajaan Buton. Diantara mereka adalah seorang putri bernama Wa Katanaa yang memiliki paras yang cantik dan ayu. Wa Katanaa menjadi primadona dikalangan mereka dan terkadang teman-temannya iri atas kecantikan wajahnya.
Waktu menjelang sore, dan pengawal-pengawal putri bangsawan tersebut mulai berdatangan  untuk menjemput mereka, namun mereka seolah tidak mau beranjak dari tempat permandiannya. Mereka terus saja asyik menikmati suasana pantai yang sejuk dengan hantaman ombak yang begitu lembut menyentuh tubuh mereka.
Lalu datanglah pemimpim dari pengawal tersebut yang juga seorang Bangsawan hendak membujuk mereka agar segera pulang. Rupanya putri-putri tersebut sejak semula memang sedang menanti kedatangan priaituyang juga memiliki wajah yang tampan dan juga santun.
Maka berkatalah pemimpin pengawal tersebut kepada mereka. “ wahai.. tuan-tuan putri, hendaklah kalian beranjak dari situ sebab hari telah menjelang sore dan sebentar lagi gelap, dinginnya air akan menembus tulang kalianhinggaakhirnyakalian bisa sakit, dan apabila itu terjadi maka tuan-tuan putri tidak akan lagi menikmati hari-hari yang menyenangkan seperti saat ini..” keadaan menjadi sunyi, namun putri-putri tersebut belum juga mau beranjak dari tempat mandinya.
Mereka rupanya diam-diam mengagumi pria tersebut dengan ketampanan dan kelembutan suaranya. Mereka menggoda, mereka ingin mendengar pria itu berusaha membujuk mereka sekali lagi, namun tiba-tiba sesuatu terjadi, salah seorang dari mereka tanpa sengaja buang angin (kentut) akibat terlalu lama berendam dalam air, maka suasana yang tadinya sunyi berubah menjadi riuh. Semua tertawa tanpa terkecuali termasuk pemimpin pengawal tersebut yang sedikit agak tersinggung. Seorang pengawal yang tidak tahan atas kejadian ituspontan bertanya siapa gerangan diantara wanita-wanita cantik itu memiliki kentut yang begitu bau.
Mendengar celoteh salah satu pengawal atas kejadian memalukan tersebut, maka spontan mereka saling tunjuk dan saling membantahhingga mata semua tertuju pada sosok Wa Katanaa. Karena merasa malu terutama pada pria bangsawan yang menjadi pemimpin pangawal tersebut, maka dengan meyakinkan Wa Katanaamembantah tuduhan teman-temannya sambil bersumpah “wahai dengarkanlah sekalian, sesungguhnya bukanlah saya yang melakukan perbuatan memalukan tersebut, dan jika itu terjadi, maka saya lebih baik menjadi batu di pantai ini daripada ikut serta bersama kalian”. Mendengar ucapan Wa Katanaa, maka pria bangsawan tersebut kemudian berkata “Baiklah, lupakanlah, anggaplah kejadian tadi tidak pernah terjadi, maka segeralah kalian berkemas sebab hari sudah hampir gelap, ”. Maka putri-putri bangsawan tersebut satu persatu kemudian beranjak dari permandiannya dan menuju kedarat dengan wajah yang berseri-seri. Namun diantara mereka cuma Wa Katanaa yang belum juga beranjak dari tepi pantai. Melihat ia masih disitu,maka Pria Bangsawan itu kemudian kembali membujuk Wa Katanaa untuk segera meninggalkan tempat permadiannya, namun rupanya itu membuat teman-teman yang lainnya menjadi cemburu, lalu mereka memaksa bangsawan tersebut bersama beberapa pengawalnya untuk menemani mereka pulang dan meninggalkan Wa Katanaa bersama sebagian pengawalnya yang lain.
WaKatanaa belum juga bisa beranjak dari bibir pantai, Kakinya seolah-olah menjadi keram dan merasa kesulitan untuk beranjak dari tempatnya disebabkan pasir pantai yang menutupi sampai mata kakinya. Lalu para pengawal yang bersama Wa Katanaa mencoba untuk membantu mengangkat sang putri bangsawan tersebut dari tepi pantai, namun ternyata sia-sia. Semakin berusaha ditarik, maka makin kuatlah dan semakin tinggi pasir itu menutup kakinya. Meskipun sudah berusaha dengan sekuat tenaga dan menggunakan gagang tombak untuk mencukil pasir yang menutupi kaki waKatanaa,namun tetap saja tidak berhasil. Melihat hari sudah semakin gelap serta kejadian mengerikan yang dialami Wa Katanaa, maka para pengawal itu lari meninggalkan sang putriuntuk mencari pertolongan dan hendak menyampaikan peristiwa yang baru saja di alami oleh Wa Katanaa kepada penduduk setempat.
Dalam kesendiriannya wa Katanaa mencoba berteriak meminta pertolongan namun suara itu semakin lama semakin kecil,  lalu dia mengingat apa yang sebelumnya dia ucapkan, dia rela berbohong untuk menghindari malu dari orang yang dicintainya, dia sadar atas kebohongan dan sumpah serapahnya, dia menyesali perbuatannya, dia menangisi perbuatannya, namun suara itu tidak bisa lagi keluar dari mulutnya, terlambat sudah, sebagian badannya telah berubah hingga akhirnya seluruh tubuhnya menjadi batu.
Keesokan paginya, masyarakat berdatangan untuk melihat bagaimana nasib Wa Katanaa, mereka tidak menemukan sesuatu kecuali sebongkah batu seukuran manusia yang berada ditepi pantai. Dan sejak saat itu, pantai tersebut dinamakan pantai Katanaa.
6)    Sage Sultan Murhum Buton
Karena usia sudah uzur Raja Buton ke V yaitu Raja Mulae sangat menyadari kemampuan dalam mengendalikan roda pemerintahan mulai nampak menurun sehingga meminta pertimbangan syara Buton (Siolimbona) untuk menyerahkan jabatan Raja kepada Murhum dengan pertimbangan bahwa Murhum telah memberikan jasa dan pengabdiannya dalam menyelamatkan Kerajaan Buton dari berbagai gangguan, ancaman, juga didasari pribadi Murhum menunjukan sifat-sifat seorang pemimpin, jujur, bijaksana dan tegas mengambil keputusan, disamping sebagai anak menantu Raja Mulae.
Usul Raja Mulae mendapatkan respon positif dan suara bulat dari anggota legislatif Dewan Siolimbona untuk menetapkan Murhum sebagai Raja Buton yang ke VI. Pada awal masa pemerintahan Raja Murhum mengangkat Manjawari sebagai Sapati pertama dan Batambu sebagai Kenepulu pertama kedua orang yang disebutkan tersebut adalah putra asli Selayar dan Wajo Sulawesi Selatan, atas jasa keduanya membantu perlawanan Kerajaan Buton menghadapi bajak laut sehingga diberikan jabatan. Menurut catatan sejarah Buton Murhum menjadi Raja selama 20 tahun dimulai sejak akhir tahun 1538 Masehi.
Ketika memasuki tahun ke 4 menjadi Raja, ia pun kedatangan tamu, seorang muballig dari Johor ( semenanujung Tanah Melayu ) yaitu Syekh Abdul Wahid Bin Sulaiman. Dan dari padanya ia mengukuhkan keislamannya sekaligus juga memperoleh pengakuan sebagai Raja Islam dengan gelar Sultan Murhum Kaimuddin pada tahun 1948 Hijriah atau tahun 1542 Masehi. Dua puluh tahun kemudian sesudah menjadi Raja tepatnya pada tahun 1558 Sultan Murhum Kaimuddin memperoleh pengakuan dan pengukuhan kembali dari Sultan Rum ( Turki ) sebagai Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis Dan Kerajaan Buton berubah status menjadi Pemerintahan Kesultanan Islam.
Peristiwa tersebut menjadi momentum sejarah mulai membangun Pemerintahan Kesultanan Buton atas sendi-sendi Islam di Bawah bimbingan Syekh Abdul Wahid selaku penasehat Kesultanan pada saat itu. Antara lain dikukuhkannya Falsafah perjuangan hidup bermasyarakat yaitu Yinda-yindamo arataa somanamo karo, yinda-yindamo karo somanamo lipu, yinda-yindamo lipu somanamo agama (tiada meniadalah harta demi diri, tiada menidalah diri demi negeri, tiada meniadalah negeri demi agama ).
Dipuncak pemerintahannya Sultan Murhum telah menjadikan tokoh pemimpin dari 3 (tiga) Kerajaan yaitu Kerajaan Konawe, Wuna, Buton dan mempunyai wilayah teritorial yang sangat luas meliputi kepulauan Banggai, Buton, Muna, Kabaena, Tiworo, Kepulauan Tukang Besi, Wawonii, Marunene (Rumbia) pada pertengahan abad ke XVI.
Masih banyak prestasi lain beliau yang tidak dapat diungkapkan semuanya disini dan setelah 46 tahun memimpin Kesultanan Buton (baik sebagai Raja ke VI dan Sultan I), tepat pada tahun hijrat 991 bersetuju dengan tahun 1584 M Lakilaponto Murhum Sultan Kaimuddin perpulang kerahmatullah dalam usia kurang lebih 90 tahun, dimakamkan di Bukit Lelemangura dalam kompleks Benteng Wolio Kota Bau – Bau.
Sebagai akibat dari rasa cinta terhadap negeri dan tanah air serta rakyatnya, lahirlah rasa pengabdian yang tinggi pada seseorang yang patriotik. Tetapi seseorang yang memiliki rasa pengabdian yang dibuktikan dalam kenyataan kehidupan masyarakat, otomatis harus memiliki aspek-aspek kebudayaan yang lain seperti rasa kesabaran, rasa ketabahan (keuletan, ketekunan, kemauan yang keras), keberanian (berani berkorban dan tulus ikhlas, ketaatan), rasa optimis untuk mencapai kemenangan (kejayaan) rasa cinta terhadapt kebenaran dan keadilan, serta mempunyai rasa kerinduan terhadap kemakmuran dan kedamaian, didalam pengabdian terhadap Negeri dan rakyatnya seorang patriotik otomatis pula dipandang oleh rakyat dan masyarakatnya sebagai bapak, pemimpin, sehingga patriot itu juga pelindung, tokoh, pelopor dan pahlawan.
Nilai patriotik seseorang adalah nilai-nilai kebapaan, kepemimpinan yang diliputi oleh rasa cinta terhadap tanah air, negeri dan bangsa serta rakyatnya dan mempunyai rasa dedikasi yang tinggi dan berkemauan keras untuk membawa rakyat dan negerinya kealam bahagia, tentram dan damai, adil dan makmur, dan sejahtera. Jika Murhum dalam sejarahnya, ternyata adalah seorang patriotik, maka ia adalah :
1. Seorang pemimpin, seorang bapak, baik sebagai raja dalam pemerintahan, maupun seorang panglima perang, yang membawa negeri dan rakyatnya kepada persatuan dan kesatuan, dan tentram dari gangguan pengacau dari luar.
2. Seseorang yang mempunyai pandangan kearah masa depan yang gilang gemilang bagi negeri dan rakyatnya untuk hidup bahagia tentram dan damai yang telah dinyatakan, dihasilkan dan dimanfaatkan oleh rakyat dan negerinya, sehingga beliau dapat disebut sebagai seorang yang idialis-realis-fragmatis (ingat suasana pemerintahan beliau sebagai raja sebagai gelar Sultan).
3.  Seorang yang sangat kasih dan cinta terhadap negeri negeri dan rakyatnya serta norma adat dan agama, melibihi kasih dan cintanya terhadap diri dan keluarganya.
4.  Sudah sepatutnya Sultan Murhum Kaimuddin dapatlah dijadikan contoh dan suritauladan pimpinan masa depan dan oleh karenanya nama tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu nama apakah negeri, apakah pelabuhan laut, apakah pelabuhan udara atau yang lainnya dan pasti nama tersebut tetap terpatri didalam perjalanan sejarah dan pembangunan Sulawesi Tenggara secara keseluruhan.