Kamis, 31 Mei 2012

SASTRA

Naskah Drama
Oleh : Arwahid
 
SEPASANG MERPATI TUA
KARYA : BAKDI SOEMANTO

Para pelaku:
Nenek
Kakek

         Panggung menggambarkan sebuah ruangan tengah rumah sepasang orang tua. Di atas sebelah kiri ada meja makan kecil dengan dua buah kursi. Di atas meja ada teko, sepasang cangkir, dan stoples berisi panganan. Agak di tengah ruangan itu terdapat sofa, lusuh warna gairahnya. Di belakang terdapat pintu dan jendela.
        Waktu drama ini dimulai, Nenek duduk sambil menyulam. Sebentar-bentar ia menengok ke belakang, kalau-kalau suaminya datang. Saat itu hari menjelang malam.

Nenek    : (Bicara sendiri). Ah, dasar! Kayak nggak ingat sudah pikun. Pekerjaannya
                 tidak ada lain selain bersolek. Dikiranya masih ada gadis-gadis yang suka
                 memandang. Hmmm… (Mengambil cangkir, lalu meminumnya)
Kakek    :  (Masuk). Bagaimana kalau aku pakai kopiah seperti ini, Bu?
Nenek    :  Astaga! Tuan rumah mau pesiar ke mana menjelang malam begini?
Kakek    :  tidak kemana-mana. Cuma mau duduk-duduk saja, sambil baca koran.
Nenek    :  mengapa membaca koran mesti pakai kopiah segala?
Kakek    :  Agar komplit, Bu
Nenek    :  yaaah. Waktu dulu kau jadi juru tulis, empat puluh tahun lampau. Tapi
                sekarang, kopiah hanya bernilai tambah penghangat belaka.
Kakek    :  (Berjalan menuju ke meja, mengambil koran, lalu pergi ke sofa, membuka
                 lembarannya)
Nenek    :  Mengapa tidak duduk di sini?
Kakek    :  Sebentar.
Nenek    :  Ada berita rahasia
Kakek    :  rahasia?
Nenek    :  habis kau baca koran kenapa menyendiri?
Kakek    :  Malu.
Nenek    :  Malu? Kau aneh. Malu pada siapa?
Kakek    :  dilihat banyak orang tuuuh. (Menunjuk penonton). Sudah tua kenapa
                 pacaran terus….
Nenek    :  (Berdiri menghampiri Kakek, lalu duduk di sebelahnya, lalu menyandarkan
                 kepalanya ke bahu Kakek sebelah kiri).
Kakek    :  Gila. Malah demonstrasi.
Nenek    :  Sekali waktu memang perlu.
Kakek    :  Ya, tapi kan bukan untuk saat ini?
Nenek    :  Kukira justru!
Kakek    :  Duilah apa-apaan ini.
Nenek    :  Agar orang tetap tahu, aku milikmu.
Kakek    :  Siapa mengira kita sudah cerai?
Nenek    :  Ah, wanita. Bagaiamanapun sudah tua, aku tetap wanita. (Berdiri, pergi ke
kursi dan duduk). Dunia wanita yang hidup dalam angan-angan, takutkehilangan, tapi menuntut kenyataan-kenyataan.
Kakek    :  Bagus!
Nenek    :  Apa maksudmu?
Kakek    :  Tindakan terpuji, itu namanya.
Nenek    :  He, apa sih maksudmu, Pak?
Kakek    :  Mengaku dosa di depan orang banyak!
Nenek    :  Hu… hu… hu… (Menangis)
Kakek    :  He, ada apa kau, Bu? Ada apa? Digigit namuk rupanya?
Nenek    :  Kau memperolok-olok aku di depan orang banyak begini. Siapa aku ini?
Istrimu bukan? Kalau aku dapat malu, kan kau juga ikut dapat malu toh.   Hu…  hu… hu…
Kakek    :  Bukan maksudku memperolok-olok kau, Bu. Aku justru memuji tindakanmu
                 yang berani.
Nenek    :  (Tiba-tiba berhenti manangis). Berani? Aku pemberani?
Kakek    :  Ya, kau pantas disejajarkan dengan ibu kita kartini
Nenek    :  Ibu Tin?
Kakek    :  Bukan, bukan bu tin, Ibu kita Kartini.
Nenek    :  Tetapi, kan ibu kita Kartini juga bisa kita sebut Bu Tin, kan. Apa salahnya?
Kakek    :  Hush, diam! Ingat ini di depan orang banyak. Maka jangan main semberono
                 dengan sebutan-sebutan yang multi interpretable….
Nenek    :  Ah, laga profesormu kumat lagi, Pak?
Kakek    : Yaaa, aku dulu memang punya cita-cita jadi professor.
Nenek    :  Dan kandas.
Kakek    :  Belum. O, malah sudah berhasil, Cuma tunggu pengakuan.
Nenek    :  Siapa yang akan mengakui keprofesoranmu? Kau tidak mengajar di
                 perguruan tinggi manapun di dunia ini.
Kakek    :  Secara formal memang tidak. Secara material ia.
Nenek    :  Hah, bagaimana mungkin?
Kakek    :  Kau lihat, banyak mahasiswa yang datang kemari, bukan? Tidak hanya itu,
                 malahan para guru besar pada datang ke mari. Mereka mengajak diskusi
aku, segala macam soal. Dari soal-soal tata pemerintahan sampai bagaimanamengatasi kesepian.
Nenek    :  Bukankah itu Cuma omong-omong, mengapa mesti dikatakan diskusi?
Kakek    :  Siapa bilang orang memberi kuliah di depan kelas tidak pake omong, he…?
Nenek    :  Mestinya kau tidak usah jadi professor saja, Pak. Jadi diplomat ulung saja
Kakek    : Aku kurang senang jadi diplomat.
Nenek    :  Tapi kau lebih terkemuka, lebih ternama, lebih terkenal.
Kakek    :  Diplomat terlalu banyak menipu hati nuraninya sendiri. (Nenek termenung
                 tiba-tiba)
Kakek    :  Ada apa kau? Kau tidak senang aku jadi professor. Kau kepingin aku jadi
                 diplomat? Baik. Aku akan jadi diplomat demi keselamatan perkawinan kita.
Kakek    :  Aku akan segera jadi diplomat sekarang juga. Di mana posku? Negara-negara
                Barat?Timur? Asia? Atau PBB…?
Nenek    :  Ya, PBB saja…
Kakek    :  Tapi…. (Lalu duduk di sofa termenung).
Nenek    :  Itulebih terhormat di PBB. Siapa tahu kau akan dipilih jadi ketua sidang,
                 lantas kelak jadi sekretaris jenderal…(Kakek geleng kepala)
Nenek    :  Kurang besar kedudukan itu. Atau diplomat surgawi saja? (Kakek
                 memandang Nenek)
Nenek    :  tapi itu lebih sukar, sebab Tuhan susah diajak berdebat. Tuhan Cuma diam
                 saja. Orang hanya mengerti apa mau Tuhan kalau sudah terlaksana. Sedang
                 rencana-rencana selanjutnya. Masih gelap bukan? Bagaimana kau
 mengajukan argumentasi-argumentasimu jika mau ajak Tuhan berdiskusi?
 (Kakek     geleng kepala)
Nenek    :  Nah, paling terhormat jadilah diplomat wakil republik kita tercinta di PBB…
                 (Kakek geleng kepala)
Nenek    :  Aku sungguh tidak mengerti cita-citamu, Pak.
Kakek    :  Aku ingin jadi diplomat yang diberi pos di kolong jembatan saja…
Nenek    :  Ah, gila. Itu pekerjaan gila.
Kakek    :  Banyak diplomat yang dikirim ke pos-pos manapun di dunia ini. Tapi
pemerintah belum punya wakil untuk bicara-bicara dengan mereka yang adadi kolong jembatan, bukan? Ini tidak adil.Maka aku menyatakan diri.Maka aku menyediakan diri untuk mewakili pemerintahan ini sebagai diplomat kolong jembatan.
Nenek    :  Tapi kau akan terhina
Kakek    :    Selama kedudukan adalah diplomat, di manapun ditempatkan sama saja             terhinanya sama saja mulianya
Nenek    :  Aku tidak rela kalau kau ditempatkan di pos terhina itu.
Kakek    :  Kau belum tahu, justru paling mulia di antara pos-pos di manapun juga.
Nenek    :  Kau sudah tidak waras.
Kakek    :  Seorang diplomat pada hakikatnya adalah seorang yang pandai ngomong.
Pandai meyakinkan orang, pandai membujuk. Orang-orang di kolongjembatan itu perlu dibujuk agar hidup baik-baik. Berusaha mencari pekerjaan yang layak dan timbul kepercayaan diri-sendiri.Tidak sekedar dihalau, diusir, kalau malau ada orang gede lewat saja. Jadi untuk mengatasi tidakan-tindakan kasar ini, perlu ada wakil yang bisa membujuk…
Nenek    :  Ah… bagaimana, nanti kalau aku arisan dan ditanya teman-teman
                 bagaiamana jawabku, Pak. Coba bayangkan, bayangkan…
Kakek    :  Istriku, aku mengerti, bagaimana kau akan turun gengsi nanti. Tapi kau tidak
usah khawatir, kalau kau datang ke arisan yang lima ribuan, dan kau ditanyaorang-orang apa pekerjaanku jawab saja diplomat, titik. Kolong jembatannya tidak usah disebut, kalau kau datang ke arisan yang seratusan, saya kira tak ada salahnya kalau kau ngomong diplomat kolong jembatan…
Nenek    : Tapi kalau teman-teman arisan lima ribuan tanya, di mana posnya…?
Kakek    :  Ah… (memegangi kepala). Begini, diplomat bagian sosial… hebat toh?
Nenek    :  Masak ada diplomat sosial?
Kakek    :  kau ini bagaimana, diplomat itu serba mungkin asal kau pintar main lidah,
beres. Coba, kau kan tahu ada diplomat pimpong, ada diplomasi SPP,diplomasi macam-macam saja ada.
Nenek    :  Ah, susah aku tak ingin kau jadi diplomat, Pak.
Kakek    :  tapi, aku sudah terlanjur cinta dengan pekerjaan itu. 
(Nenek termenung)
Kakek    :  (Memandang Nenek). Susah…
Nenek    :  Siapa?
Kakek    :  Kita semua
Nenek    :  Termasuk para penonton itu?
Kakek    :  Ya.
Nenek    :  Kenapa?
Kakek    :  Karena kita hidup
Nenek    :  Mengapa begitu?
Kakek    :  Orang hidup punya beban sendiri. (Pergi mengambil teko, menuang kopi, lalu meminumnya)
(Nenek memandang tindakan-tindakan sang suami. Kakek membuka stoples lalu memakan makanannya)
Nenek    :  Seorang diplomat harus tahu aturan.
Kakek    :  Apa maksudmu?
Nenek    :  Makan tidak boleh sambil berdiri. Ini adalah adat timur.
Kakek    :  Sudah nyopot dari pekerjaan.
Nenek    :  Mau pindah pekerjaan?
Kakek    :  Ya.
Nenek    :  Apa?
Kakek    :  Teknokrat.
Nenek    :  Gila.
Kakek    :  Aku mau jadi teknokrat dalam bidang….
Nenek    :  Ekonomi?
Kakek    :  Bukan!
Nenek    :  Politik?
Kakek    :  Bukan
Nenek    :  Militer?
Kakek    :  Bukan
Nenek    :  Lalu apa?
Kakek    :  Bidang persampahan
Nenek    :  Apa?
Kakek    :  Bidang sampah-sampah! Ini perlu sekali, salah satu sebab adanya banjir di kota ini, karena orang-orang kurang tahu artinya selokan-selokan itu. Kau lihat di jalan-jalan yang sering tergenang air itu. Coba selokan itu kita keduk, sampahnya luar biasa banyaknya…
(Nenek termenung)
Kakek    :  Kau tidak senang?
Nenek    :  Mengapa kita berpikir yang bukan-bukan?
Kakek    :  Karena kita tak lagi sanggup melihat kenyataan-kenyataan.
Nenek    :  Mengapa?
Kakek    : Kenyataan yang kita lihat, adalah tipuan belaka adanya
Kakek    :  Hidup kita diwarnai dengan cara berpikir yang sadis.
Nenek    :  Ah, makin pusing mendengarkan bicaramu
Kakek    :  Kita berpikir karena kita mengerti. Tapi karena berpikir perlu sistem, sistem membelenggu kita. Kita jadi tolol. Saya lagu-lagu. Saya rindu puisi-puisi. Orang-orang zaman ini tidak mengerti puisi-puisi. Kita sudah jadi robot semua. Berjalan dengan satu disiplin mati. Dengan teori yang tidak kita pahami sendiri… keutuhan manusia sudah dikerdilkan. Hubungan seks tinggal bernilai nafsu. Kesenian diukur filsafat seketika, atau kesenian sudah dikonsepkan. Juga hidup kita didoktrinkan… ini tidak bisa. Akibatnya, kita tenggelam kepada ukuran-ukuran mini. Kita rindu Sofokles, Aristoteles, Albert Camus, Amir Hamzah, Chairil Anwar,… Geoethe, Shakespeare. Mereka harus ditakdirkan kembali di sini. Citra manusian yang terpancar dari karya-karya mereka harus dipancarkan kembali di sini.
Nenek    :  Suamiku… Suamiku… Suamiku… Sudahlah…
Kakek    :  Hidup manusia harus dikembalikan keutuhannya. Manusia harus….
Nenek    :  Sudahlah… (Menuntun ke sofa)
Kakek    :  Manusia harus menghayati hidupnya, bukan menghayati disiplin mati itu…
                 doktrin-doktrin itu harus…harus…
Nenek    : Suamiku, sudahlah nanti penyakit napasmu kumat lagi. Kalau kau terlalu semangat begitu…
Kakek    : Kreatifitas harus dibangkitkan. Bukan dengan konsep-konsep tetapi dengan merangsangnya…dengan menggoncangkan jiwanya agar tumbuh keberaniannya menjadi diri sendiri. Tidak menjadi manusia bebek. Yang cuma meniru, meniru, meniru…(kakek rebah, nenek menjerit).
Nenek    : (Terseduh)
Kakek    : (Bangkit tetapi tidak diketahui oleh nenek). Mengapa kau menangisi aku, tangisilah dirimu sendiri.
Nenek    : Kau masih hidup…?
Kakek    : Aku tidak begitu yakin, selama aku terbelenggu oleh doktrin. Aku hanya mengerti, apa aku hidup atau tidak, kalau aku menghayati hidupku sendiri….
Nenek    : Tetapi kau berbicara, kau bernapas….
Kakek    : Bukan itu ukuran adanya kehidupan.
Nenek    : Jangan bicara yang sukar-sukar, aku tidak mengerti.
Kakek    : Tentu saja, karena kau belum mengerti hidup.
Nenek    : Delapan puluh tahun kujalani hidup. Benarkah aku belum mengerti.
Kakek    : Umur pun bukan ukuran, selama kau menjalani hidup kau mengikuti doktrin-doktrin itu….
Nenek    : Bagaimana seharusnya, Sayangku?
Kakek    : Renungkan dirimu sendiri dan sudah itu menangis!
Nenek    : Nanti saja, kalau sudah tak ada orang banyak….(Terdengar suara jam dinding dua belas kali).
Nenek    : Sudah larut tengah malam.
Kakek    : Ya. Dan sebentar lagi ambang pagi akan datang.
Nenek    : Kita akan menjadi segar kembali.
Kakek    : Dan tambah tua….(Nenek termenung. Kakek termenung)
Nenek    : Kapan kita mati?
Kakek    : Entah. Tapi kita harus siap-siap.
Nenek    : Sungguh ngeri!
Kakek    : Memang. Tapi itulah kenyataannya.
Nenek    : Aku takut.
Kakek    : Aku juga…. (Terdengar lonceng jam dinding dua belas kali)
Nenek    : Dua belas kali….
Nenek    : Aneh! Ini tidak mungkin. Apa aku salah mendengar?
Kakek    : Memang begitu. Kau tidak salah dengar.
Nenek    : Tapi ini di luar kebiasaan. Tadi sudah berbunyi dua belas kali, mestinya bunyi lagi satu kali…, begitu kan?
Kakek    : Mudah-mudahan kau tahu, begitulah hidup. Kebiasaan-kebiasaan, ukuran-ukuran, konsep-konsep tidak terlalu cocok….
Nenek    : Bagaimana cara kita mengerti…?
Kakek    : Itulah soalnya….
(Layar turun, lampu mati)

3 komentar: