Kamis, 24 Mei 2012

Tanda Tanya Di Balik Pemekaran Buton Tengah, Serta Misteri Etnisitas dan Bahasa Masyarakat Mawasangka dan Sekitarnya yang Belum Jelas Kepastiannya.


Mungkin nama kampung-tanah kelahiran-saya ini masih asing di telinga sebagian besar masyarakat Sulawesi Tenggara tidak terkecuali Mahasiswa Unhalu Kendari. Pasalnya kampung ini terletak di ujung pulau Muna bagian Selatan. Kok bisa? Ya, mungkin anda bingung mengapa demikian?. Bukankah Kecamatan Mawasangka adalah Kabupaten Buton?. Sama saya juga bingung nih mengapa di ujung Selatan pulau Muna ya letaknya?. Memang sih secara administratif Mawasangka termasuk wilayah Kabupaten Buton. Namun secara Geografis, Mawasangka terletak di Pulau Muna bagian Selatan. Tapi anda semua tidak perlu meragukan kesukuan atau etnisitas saya kok karena saya masih tetap sebagai orang Buton sampai waktu yang belum ditentukan. Mengapa saya berkata demikian?
Pada saat pembentukan empat Kabupaten senior di Sultra yakni ; Buton, Muna, Kolaka, dan Kendari (Konawe), Mawasangka sempat menjadi wilayah sengketa Buton-Muna. Muna mengklaim Mawasangka sebagai wilayahnya atas dasar geografis, sementara Buton mengklaim atas dasar etnoisitas (kesukuan) dan sejarah kesultanan Buton yang sudah menjadi wilayah Kesultanan sejak dahulu. Lagipula ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa masyarakat Mawasangka adalah anak cucu Sultan-Sultan Buton  yang berdomisili di wilayah Muna.  Perang politikpun terjadi. Bahkan persengketaan politik itu tidak tanggung-tanggung  nyaris berujung pada pertumpahan darah. Namun beruntung,  para tokoh-tokoh bijak masyarakat Mawasangka menawarkan solusi yakni diadakannya Pepera(Penentuan Pendapat Rakyat), apakah masyarakat Mawasangka mau masuk  admistratif Muna atau Buton. Solusi itu disetujui oleh para pembesar-pembesar Muna-Buton. Pepera pun diadakan dan hasilnya 90% masyarakat memilih bergabung dengan Buton dan sisanya yang 10% memilih bergabung dengan Muna. Dengan demikian Mawasangka menjadi wilayah administratif Buton melalui pesta demokrasi.
Menurut info yang saya dengar dari para orang-orangtua kampung serta para politisi yang mengetahui hal ini mengatakan bahwa beberapa waktu kemudian setelah Pepera dilakukan pembesar Muna-entah secara sepihak atau melalui kesepakatan-mengintegrasikan Ereke (sekarang Ibukota ‘palsu’ Kabupaten Buton Utara ) dan sekitarnya ke dalam wilayah administratif Kabupaten Muna. Berdasarkan data subjektif ini untuk sementara saya berasumsi bahwa pembesar Muna-Buton mengadakan sistem tukar wilayah. Ereke dan sekitarnya(pulau Buton bagian Utara)masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Muna, sedangkan Mawasangka dan sekitarnya (pulau Muna bagian Selatan) masuk dalam wilayah admistratif Kabupaten Buton.
Tapi anehnya, saat Ereke di mekarkan pada tahun 2006 silam, Ereke di daulat menjadi Ibukota palsu Buton Utara yang sebenarnya Ibukota Buton Utara menurut SK Mendagri adalah Buranga. Perihal nama baru daerah ini (Buton Utara), Ridwan BAE sebagai Bupati Muna pada waktu itu tidak setuju atas penamaan Buton Utara dengan alasan Buton Utara (Ereke) adalah pemekaran dari wilayah Muna. Jadi paling tidak harus menggunakan nama Muna di depan nama baru daerah ini, bukan malah menggunakan nama Buton. Namun melalui rapat darurat dengan pihak-pihak terkait akhirnya nama Buton Utara disepakati dengan pertimbangan letak geografis  daerah pemekaran wilayah Muna ini yang terletak di bagian Utara pulau Buton.
Lalu bagaimana dengan desas desus pemekaran Mawasangka dan sekitarnya seperti Gu, Lakudo, Sangia Wambulu,Mastim, Masmur serta Talaga Raya sebagai daerah otonomi yang akan dimekarkan? Apakah karena Mawasangka dan sekitarnya  terletak di bagian Selatan pulau Muna maka akan menggunakan nama Muna Selatan sebagai nama barunya nanti? Tapi kayaknya penamaan itu tidak akan terjadi sebab penamaan daerah yang akan dimekarkan ini telah mengalami perubahan beberapa kali. Pertama pada tahun 2002 rencana akan dinamakan Gulamasta sebagai akronim dari Kecamatan Gu, Lakudo, Mawasangka, Mastim, Masmur, Sangia Wambulu, dan Talaga Raya, kemudian pada tahun 2004 rencana akan dinamakan Buton Barat, dan tahun 2006 rencana akan dinamakan Buton Tengah dan sampai saat ini belum ada perubahan nama.
Tapi sungguh sayang seribu kali sayang  pemekaran daerah ini tidak kunjung terealisasi dengan berbagai macam alasan mulai dari Ibukotanya yang masih dipertanyakan karena Mawasangka dan Lakudo ternyata sama-sama berjuang untuk menjadi Ibukota Buton Tengah, kemudian adanya isu dihentikannya dulu proses pemekaran atas perintah dari Presiden dengan alasan merosotnya keuangan Negara karena membiayai daerah pemekaran, dll. Khusus untuk alasan pertama, Kemendagri dan Komisi II DPR yang mengurus masalah pemekaran sudah meninjau kedua Lokasi yang sama-sama strategis ini. Namun nyatanya sampai detik ini belum terealisasi pemekaran itu. Bagaimana juga ituwe?
Bahkan  Mawasangka sudah didahului oleh Wakatobi dan Bombana yang dimekarkan pada tanggal 18 Desember 2004, padahal jika dihitung-hitung, Mawasangka jauh lebih tua umurnya jika dibandingkan dengan Kecamatan lainnya yang ada di Buton bahkan sebelum Buton dimekarkan. Tapi mengapa sampai sekarang Mawasangka belum mekar-mekar  ya? Apa memang karena dari dulu kami masyarakat Mawasangka ini hanya dibohongi oleh para penguasa di Kabupaten Buton demi kepentingan pribadinya atau memang karena Buton tidak mau melepas Mawasangka? Tapi tenang saja. Saya sama sekali tidak mempertanyakan umur Bombana dan Wakatobi kok. Saya juga tidak iri dengan mekarnya Wakatobi dan Bombana yang mendahului Mawasangka.
Oke!! Oke!! Oke!! Bro mungkin saya terlalu jauh masuk lorong dalam pembahasan ini. Mungkin karena saya hanya ingin mengeluarkan unek-unek-oh kaya Uya Kuya aja nich- yang belum keluar selama ini. Yah memang pernyataan dalam tiga paragraf terakhir tadi mungkin saja akan dianggap sebagai omong kosong seorang Andre alias Arwahid yang sok tahu sejarah, politik, tata negara dan hal yang lain. Mohon maaf sebelumnya karena saya hanya ingin berbagi pengetahuan sekalipun pengetahuan yang saya berikan  itu sudah diketahui oleh semua orang atau bahkan tidak ada benarnya sama sekali  tapi setidaknya anda sudah membaca tulisan saya yang tidak ada apa-apanya ini dan kalau ada baiknya diambil dan buruknya dibuang atau kalau buruk semua dibuang saja semuanya karena sejauh ini hal itu yang saya ketahui berdasarkan beberapa sumber seperti informan, koran, majalah, jurnal, televisi, dan buku bacaan yang lainnya.
Beberapa hal yang menarik perhatian saya dari Mawasangka ini adalah dua hal, yakni ; masalah etnisitas(kesukuannya)dan kebahasaannya. Saya sempat mengadakan tanya jawab dengan beberapa orang warga Ereke(Buton Utara).  Pertanyaan saya kepada mereka begini ; “Orang Ereke dan sekitarnya itu orang Muna atau Buton? Dan semua jawaban yang saya dapat semua begini intinya ; “Orang Buton Toh”.  Bandingkan dengan jawaban orang Gulamasta berdasarkan pertanyaan ini ; ”Orang Gulamasta itu orang Buton atau Muna? Dan semua jawaban yang saya dapat juga begini intinya : Orang Buton Dank.
Masalah ini mungkin tidak ada apa-apanya. Tapi bagi saya pribadi ini memiliki keunikan tersendiri. Lihat saja orang Ereke yang wilayah administratif Muna bilang bahwa mereka orang Buton bukan orang Muna. Tapi di Mawasangka yang wilayah administratif Buton tidak bilang kalau mereka orang Muna. Mereka justu bilang bahwa mereka adalah orang Buton. Padahal ‘katanya’ bahasa Mawasangka merupakan salah satu dialek dari Bahasa Muna atau dengan kata lain induk bahasa Mawasangka adalah bahasa Muna tapi mengapa orang Mawasangka bukan Orang Muna? Apakah bahasa Mawasangka hanya meminjam bahasa Muna? Kalau memang dipinjam, kapan dikembalikan ya? Atau mencuri bahasa Muna dan memodifikasinya? Waow kaya motor saja dimodifikasi. Bagaimana juga itu we????
Banyak para peneliti bahasa yang mengatakan bahwa bahasa Gu, Lakudo, Mawasangka, Siompu, Kadatua, Talaga, dan Lowu-lowu(Gulamasikatalo)berindukan bahasa Muna. Benarkah demikian? Mereka mengatakan demikian karena katanya yang disebut dialek adalah saat penutur bahasa induk bercakap dengan penutur bahasa turunan(dialek bahasa induk)mereka saling memahami bahasa masing-masing. Tapi kenyataannya di lapangan dan berdasarkan realita,nggak segitunya kalle!!! banyak orang Muna yang tidak mengerti bahasa turunannya seperti bahasa Mawasangka ini. Yang ada justru orang Mawasangka yang agak tahu mengerti bahasa Muna ini. Jadi teorinya gugur karena hanya satu pihak yang mengerti bahasa pihak yang lain dan tidak ada kesalingan. Sekalipun dapat dirumuskan bahwa ;                                                                                                                                             
/Gh /(ghule=ular), /h/ (nehamai=di mana), dan /r/ (morondo=tadi malam) dalam bahasa Muna --->; /‘//bunyi glotal  (‘ule=ular),/ ’//bunyi glotal (ne’amai=di mana) dan/ h/ (mohondo=tadi malam) dalam bahasa Gulamaskalo. Sedangkan dalam bahasa Sita (Siompu&Talaga) /gh/&/h/ sama berubahnya dengan bahasa Gulamaskalo hanya /r/ yang tidak berubah menjadi /h / tapi tetap menjadi /r/ dalam bahasa Sita. Sekalipun demikian, banyak juga kosakata-kosakata yang tidak sama antara bahasa Muna dan Gulamasitakalo terlepas dari kata ‘turunan’ seperti yang dirumuskan diatas.


Misalnya kata garam, gunung, memasak, daun kelor, nasi, kurus, gemuk, masing-masing dalam bahasa Muna adalah ; ghohia, kabhawo, ghau, bhanggai, ghoti, warangka, rombu. Sedangkan dalam bahasa Gulamaskalo adalah ; gaha, gunu, foonda, kaudhawa, hodhaku, bhalabuku. Tidak sama sama sekali bukan?
Coba bandingkan dengan orang Ereke dan Wawonii, bahasanya jauh hampir lebih mirip dibanding Mawasangka dan Muna kan? Tapi mengapa bahasa Ereke dan Wawonii tidak di kenal istilah bahasa induk dan bahasa turunan sama halnya dengan bahasa Muna-Mawasangka? Padahal dalam Wawonii jika ada fonem /t/ maka dalam bahasa Ereke akan berubah manjadi fonem /c/  jika mendahului huruf /i/ dan /u/. Misalnya ; bakar, batu, masing-masing dalam bahasa Wawonii ; tunu, watu. Sedangkan dalam bahasa Ereke ; cunu, wacu.
Bisa jadi saya belum terlalu ahli dalam hal ini. Tapi saya tetap yakin kalau bahasa Mawasangka atau bahasa Gulamasikatalo bukanlah turunan dari bahasa Muna. Jika bahasa Muna-Mawasangka dianggap bahasa induk-turunan karena faktor geografis bagaimana dengan bahasa sejenis bahasa Mawasangka yang ada di Kec. Masaloka Raya Kabupaten Bombana, dan Kel. Dongkala, Kel. Lambale, dan Desa Tapuhaka Kec. Kabaena Timur Kab. Bombana, Kec. (Pulau) Maginti Kab. Muna,  serta sebagian besar wilayah Bau-Bau? Bukankah semua wiayah ini saling berjauhan satu sama lain? Bahkan dipisahkan oleh lautan. Tapi bahasanya persis Jadi bahasanya non-geografis. Tapi mengapa ada kesamaan bahasa itu? Jadi menurut saya pribadi, bukan faktor geografis yang mempengaruhi penyebaran bahasa tapi karena arus mobilisasi penutur yang membawa bahasa itu ke tempat lain.
Tapi ternyata memang banyak juga sekelompok masyarakat Gulamasikatalo yang mengatakan kalau bahasa Gulamasikatalo adalah bahasa Muna, atau bahasa Kadatua. Memang secara kuantitatif saya kalah jumlah dengan kedua kubu ini. Tapi sebagai seorang pencinta kebenaran saya harus mengatakan bahwa “kebenaran itu benar bukan karena banyaknya yang mendukung dan percaya kalau dia benar, tapi kebenaran itu benar karena dia memang benar, dan kebenaran tidak bisa didemokratisasikan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar