Kamis, 07 Juni 2012

Demonstrasi Mahasiswa, Pentingkah?

          Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, Demos dan Cratein. Demos berarti rakyat, dan Cratein berarti pemerintahan. Jadi, menurut bahasa asalnya, Demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat. Pemerintahan dijalankan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam demokrasi, suara rakyat sangat diperhitungkan dan menjadi bagian dalam pemerintahan itu sendiri.
          Negara kita, Indonesia juga menganut paham demokrasi. Rakyat sangat berperan penting dalam pemerintahan, banyak sekali keputusan pemerintah yang berdasarkan keinginan ataupun pendapat rakyat. Mahasiswa, dalam hal ini termasuk juga dalam kategori rakyat tersebut. Bisa kita lihat bahwa beberapa keputusan penting pemerintahan, diambil karena tuntutan mahasiswa yang melakukan demonstrasi. Misalnya, turunnya mantan presiden Soeharto pada era reformasi, itu terjadi karena mahasiswa yang menuntut agar orde baru berakhir dan diganti dengan reformasi. Turunnya almarhum Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pun, juga terjadi karena mahasiswa melakukan demonstrasi demi perbaikan bangsa Indonesia tercinta ini.
          Demonstrasi atau gerakan rakyat, merupakan hal yang sudah wajar terjadi di negara-negara yang menganut paham demokrasi. Justru demokrasi tanpa demonstrasi, itu yang aneh. Mahasiswa juga identik dengan demonstrasi. Apalagi ketika suatu rezim atau pemerintahan sudah dirasa tidak baik atau melenceng dari jalannya, biasanya mahasiswa yang paling kritis dan segera melakukan demonstrasi ke jalan. Mahasiswa, dengan semangat dan gejolak masa muda serta sifat kritis yang ada di dalam otaknya, dengan semangat melakukan demonstrasi dan menuntut terjadinya perubahan. Pokoknya setiap ada sesuatu yang tidak beres di pemerintahan, mahasiswa pasti turun tangan dan segera ke jalan menyuarakan perbaikan.
Tapi sebenarnya, apakah demonstrasi itu perlu dilakukan oleh mahasiswa? Seperti yang kita tahu, pekerjaan mahasiswa tidak hanya berdemonstrasi saja, tetapi, ujian-ujian, kuis, UKM, serta tugas-tugas dari dosen yang menumpuk, bahkan ada juga mahasiswa yang kuliah sambil bekerja. Dengan kegiatan yang sangat banyak itu, apakah relevan jika mahasiswa melakukan demonstrasi?
          Suatu waktu, saya menonton film yang saya lupa judulnya , di film itu ada satu bagian yang menampilkan perjuangan seorang lelaki yang ketika tahun 1998 ikut menyuarakan aspirasinya dengan melakukan demo dan turun ke jalan. Pejuang reformasi, adalah ‘gelar’ yang ia terima dan sangat ia banggakan pada saat itu. Bahkan ia mengaku sempat beberapa kali bolos kuliah untuk ikut demo dengan teman-temannya. Ia mahasiswa Universitas Indonesia ketika itu.
          Ia berpendapat, dulu Ia merasa bangga jika bisa turun ke jalan, berteriak-teriak menuntut reformasi, bergabung dengan teman-teman dari universitas yang sama dengannya, ataupun dengan teman-teman dari universitas lain. Menjatuhkan suatu rezim yang sudah merugikan banyak rakyat merupakan suatu hal yang sangat Ia banggakan. Namun, jika melihat anak-anak muda, mahasiswa-mahasiswa sekarang melakukan demonstrasi, Ia mengatakan, “Apa kepentingannya?”. Dulu, mahasiswa melakukan demonstrasi dan melakukan perjuangan untuk mengganti orde baru dengan reformasi, karena memang itu adalah suatu hal yang harus diperjuangkan. Mereka berdemo karena memang sesuatu yang mereka demonstrasikan adalah sesuatu yang sampai titik darah penghabisan harus diperjuangkan, karena kita tidak mungkin bertahan terus menerus di bawah tekanan orde baru.
          Jika mahasiswa sekarang berdemo, untuk apa? Demonstrasi yang mahasiswa lakukan dewasa ini, identik dengan kekerasan dan anarkisme. Ingat demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dari Universitas Hassanudin di Makassar ketika Hari Anti Korupsi? Ketika di Jakarta demonstrasi dilakukan dengan damai dan terstruktur oleh masyarakat yang notabene bukan mahasiswa, di Makassar mahasiswa malah melakukan anarkisme. Demonstrasi yang dilakukan para mahasiswa Unhas tersebut berujung pertengkaran dan kerusuhan. Sungguh melenceng dari tujuan demonstrasi yang sebenarnya.
Seperti yang terjadi di Kendari kemarin, mahasiswa demonstran bukan hanya memblokir jalan utama dan membakar ban. Mereka juga menyandera mobil-mobil pemerintah dan membakar mobil patroli aparat kepolisian. Malahan mereka juga merusak dan membakar mobil plat merah yang mereka sandera dan beberapa fasilitas umum.
          Apakah mereka tidak pernah berpikir bahwa, aksi tidak simpatik tersebut dapat merugikan kepentingan masyarakat? Para pengendara yang terhambat aktivitasnya. Para sopir angkot yang kehilangan peluang untuk segera mendapatkan uang setoran dan uang yang harus dibawa pulang untuk menghidupi keluarganya. Pemilik toko atau warung yang kehilangan peluang mendapatkan keuntungan, karena terpaksa menutup usahanya, karena takut terkena imbas aksi brutal mereka.
          Karena demonstrasi yang dilakukan mahasiswa itu identik dengan kekerasan dan anarkisme, ada beberapa universitas di Jakarta yang melarang mahasiswanya turun ke jalan dan melakukan demonstrasi. Jika ketahuan melakukan demonstrasi, mahasiswa tersebut dapat saja langsung di drop out oleh pihak kampus.
          Memang, demonstrasi bukanlah hal yang salah untuk dilakukan oleh mahasiswa, namun, kita harus berpikir, apakah demonstrasi yang kita lakukan ini ada esensinya? Ada tujuannya? Dan apakah tujuan itu dapat terlaksana nantinya kalau kita sudah turun ke jalan? Intinya, janganlah kita kita menyia-nyiakan waktu kita. Orangtua kita memberikan kesempatan kuliah bagi kita, atau bagi kalian yang bekerja untuk membiayai kuliah sendiri, apakah kita mau membuang kesempatan dari orangtua, atau uang hasil kerja keras kita untuk kuliah dengan mati sia-sia? Kita ambil kemungkinan paling buruk, jika kita meninggal dunia atau luka berat karena demonstrasi yang berujung anarkis, apakah kita mau mengambil risiko tersebut?
          Jika demonstrasi yang kita lakukan seperti pada tahun 1998 yang benar-benar membuahkan hasil, tentunya itu tidak sia-sia, jikalau kita meninggal dunia, kita meninggal dunia sebagai pahlawan. Demonstrasi, jika kita lakukan sekarang, nampaknya sudah tidak relevan lagi, karena memang belum ada sesuatu yang harus betul-betul diperjuangkan. Janganlah mahasiswa melakukan demonstrasi hanya untuk kesenangan tersendiri berada di jalan dan merasa superior, dan ujung-ujungnya adalah kekerasan, anarkisme dan pertengkaran. Lebih baik kita, sebagai mahasiswa belajar dengan sebaik-baiknya untuk menambah pengetahuan, dan ketika kita ingin menyalurkan aspirasi kita, lebih baik lewat media tulisan saja, sehingga kita menyuarakan aspirasi kita menggunakan otak, bukan sekadar di mulut saja.
          Seharusnya mahasiswa, sebagai seorang intelektual muda, segera sadar bahwa aksi tidak simpatik saat berunjuk rasa, tidak akan menyelesaikan masalah yang mereka persoalkan. Bahkan sebaliknya berpotensi menimbulkan masalah baru yang lebih merugikan dan segera terasa efeknya.
Ataukah sejatinya penyelesain masalah bukan tujuan, atau setidaknya bukan prioritas aksi mereka? Lalu untuk apa semua hiruk pikuk itu? Untuk memuaskan ego mereka sebagai mahasiswa super yang merasa boleh melakukan apa saja? Atau hanya perwujudan kenakalan anak muda yang tak pernah tumbuh menjadi dewasa?
          Sebuah ironi jika mereka minta polisi memperlakukan mereka sesuai dengan aturan, jika dalam beraksi mereka justru suka-suka melanggar aturan yang ada. Baik aturan perundang-undangan, maupun etika dan adat luhur di dalam masyarakat.
Terlalu berlebihankah jika kita semua berharap mereka dapat beraksi lebih santun, terhormat dan beradab?
          Tentu kita berharap mahasiswa selalu menjadi pilar utama dalam rangka memperjuangkan segala bentuk perubahan-perubahan yang ada. Karena apa yang dilakukan oleh mahasiswa biasanya murni tanpa ada yang mendalanginya. Biar tidak ada unsur-unsur yang tidak diinginkan, salah satunya dengan cara membuat gerakan bersama di seluruh Indonesia. Bila ada isu yang diperjuangkan bersama di seluruh Indonesia maka masyarakat lebih percaya bahwa itu benar-benar murni untuk perubahan. Kecuali isu-isu lokal yang tidak mungkin dilakukan oleh mahasiswa dari Sabang sampai Merauke.
          Beberapa kawan yang tinggal di luar kendari, mengirimkan SMS. Mereka bertanya, mengapa demonstrasi mahasiswa Kendari suka rusuh? Jawabannya agak susah karena ini adalah fenomena yang terus berulang. Saya mencatat beberapa argumentasi yang sering saya dengar dari banyak orang di Kendari.
          Pertama, mahasiswa Kendari punya pemahaman politik yang bagus. Pendidikan politik cukup efektif di kota ini sehingga mahasiswanya punya kesadaran yang tinggi dalam menyikapi fenomena politik. Dalam setiap peristiwa politik, mahasiswa selalu menyikapinya dengan demonstrasi atau nekad ke Jakarta untuk menemui politisi. Kalaupun demo rusuh dan selalu memacetkan jalan, itu disebabkan karena kemiskinan metodologi. Mereka tidak memperkaya dirinya dengan metodologi aksi yang baik, sehingga selalu mengulang-ulang apa yang dilakukan seniornya. Kalau bukan tutup jalan, yaa pasti rusuh.
          Kedua, demonstrasi mahasiswa Kendari terlampau sering ditunggangi para politisi. Kendari sering jadi tempat pengalihan isu politik. Mungkin argumentasi ini menempatkan mahasiswa sebagai subordinat dari para politisi. Tapi, apa boleh buat, sebab boleh jadi inilah kenyataannya. Sudah bukan rahasia lagi kalau banyak aktivis yang tiba-tiba saja kaya mendadak, padahal kerjaannya hanya demo saja. Ini adalah simbiosis mutualisme antara mahasiswa dan politisi. Indikasinya juga nampak pada setiap kali ada demo yang kemudian rusuh, selalu bersamaan waktunya dengan peristiwa politik yang cukup besar, apakah itu pemilu, pilgub, pilkada, pilwali, pilrek, atau momen politik penting lainnya. Belakangan ini, polisi selalu terkesan  menyerbu kampus Unhalu dan berujung pada permusuhan polisi-mahasiswa. Semua orang mengaitkan peristiwa itu dengan situasi politik Sultra yang memanas. Demikian pula saat konflik Ambon. Tiba-tiba Makassar dan Kendari ikut rusuh. Sekarang, demo ini jelas punya kaitan dengan kasus Century yang mulai memanas. Jangan-jangan ini cuma pengalihan isu saja. Entahlah.
          Ketiga, fenomena demonstrasi itu bisa ditafsir sebagai tebalnya tembok kekuasaan sehingga aspirasi mahasiswa tidak bisa tersalurkan. Kata seorang kawan, kita harus ribut dulu biar didengar. Kalau demo dilakukan dengan santun, jangan harap akan didengarkan. Meskipun kita punya mekanisme perwakilan seperti DPR, namun tidak berarti aspirasi rakyat akan didengarkan dengan cepat. Buktinya, ada begitu banyak aspirasi yang mengalir begitu saja, tanpa didengarkan. Nah, demo rusuh bisa dilihat sebagai siasat mereka untuk didengarkan. Meskipun demo ini dampaknya sangat disayangkan sebab merugikan banyak pihak, termasuk mahasiswa sendiri.
          Keempat,. boleh jadi para mahasiswa itu berharap bisa diliput oleh media massa secara luas. Saya sering mendengar cerita para mahasiswa yang menunda demonstrasi hanya gara-gara para jurnalis belum tiba. Mungkin saja mahasiswa itu hendak meniru Presiden SBY yang menunda pidato hanya gara-gara belum datang reporter televisi. Sementara bagi para jurnalis, aksi anarkis adalah lahan berita yang paling cepat tayang. Kata seorang jurnalis televisi, sekali berita kriminal ditayangkan, maka sang jurnalis menerima bayaran Rp 250 ribu. Bayangkan berapa penghasilan jurnalis kalau dalam sehari terdapat 10 kali peristiwa. Di sini terjadi simbiosis mutualisme antara media dan mahasiswa itu. Para mahasiswa itu memahami watak para pengelola media yang memegang kalimat sakti “Bad news is good news.” Mereka menyajikan good news demi berita yang segera tayang di semua televisi.
          Kelima, demonstrasi besar adalah panggung bagi para aktivis untuk tampil. Ini sama dengan kalimat yang dipopulerkan Tukul yakni “Masuk Tivi.” Para mahasiswa itu ibarat seorang peragawati yang melintas di atas catwalk. Saya pernah mendengar cerita tentang seorang aktivis yang ikut demo, kemudian dipukuli. Media lalu meliput. Beberapa jam berikutnya, sang aktivis itu lalu mengirim sms pada semua keluarganya di kampung. “Tolong liat tivi. Ada berita saya dipukuli. Hebat khan?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar