Kamis, 07 Juni 2012

SASTRA DAERAH

A.    FILOLOGI

Filologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani “philos” yang berarti “cinta” dan logos ” yang diartikan kata. Pada kata “filologi” kedua kata itu membentuk arti “cinta kata” atau “senang bertutur”. Arti ini kemudian berkembang menjadi “senang belajar” atau “senang kebudayaan”. Pengkajian filologi pun selanjutnya membatasi diri pada penelitian hasil kebudayaan masyarakat lama yang berupa tulisan dalam naskah (lazim disebut teks).
Filologi ialah suatu ilmu yang obyek penelitiannya naskah-naskah lama. Sebelum kita membicarakan pokok-pokok pengertian tentang filologi ini lebih lanjut, baiklah kita jelaskan terlebih dahulu, apa yang dimaksud dengan naskah ini. Yang dimaksudkan dengan naskah di sini, ialah semua peninggalan tertulis nenek moyang kita pada kertas, lontar, kulit kayu, dan rotan. Tulisan tangan pada kertas itu biasanya dipakai pada naskah-naskah yang berbahasa Melayu dan yang berbahasa Jawa; lontar bnyak dipakai pada naskah-naskah berbahasa Jawa dan Bali dan kulit kayu dan rotan biasa digunakan pada naskah-naskah berbahasa Batak. Dalam bahasa Inggris naskah-naskah ini disebut “manuscript” dan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah “handschrift”. Hal ini perlu dijeaskan untuk membedakan peninggalan tertulis pada batu. Batu yang mempunyai tulisan itu biasa disebut piagam, batu bersurat, atau inskripsi. Dan ilmu dalam bidang tulisan batu itu disebut epigrafi.
Mengingat bahan naskah seperti tersebut di atas, jelaslah, bahwa naskah itu tidak dapat bertahan beratus-ratus tahun tanpa pemeliharaan yang cermat dan perawatan yang khusus, sebagaimana dapat kita jumpai di luar negeri. Pemeliharaan naskah agar tidak cepat rusak, antara lain : mengatur suhu udara tempat naskah itu disimpan, sehingga tidak cepat lapuk; melapisi kertas-kertas yang sudah lapuk dengan kertas yang khusus untuk itu, sehingga kuat kembali; dan menyemprot naskah-naskah itu dalam jangka waktu tertentu dengan bahan kimia yang dapat membunuh bubuk-bubuk yang memakan kertas itu. Demikian antara lain pemeliharaan khusus terhadap naskah-naskah itu, tetapi tinta yang memecah dan kertas yang cepat menguning atau dengan kata lain kualitas tinta dan kertas yang kurang baik sukar diatasi.
Semua naskah itu dianggap sebagai hasil sastra lama dan isi naskah itu bermacam-macam. Ada yang sebetulnya tidak dapat digolongkan dalam karya sastra, seperti undang-undang, adat-istiadat, cara-cara membuat obat, dan cara membuat rumah. Sebagian besar dapat digolongkan dalam karya sastra, dalam pengertian khusus, seperti cerita-cerita dongeng, hikayat, cerita binatang, pantun, syair, gurindam, dsb. Ituah sebabnya pengertian filologi diidentikkan dengan sastra lama.


    Filologi terdiri dari dua fokus pembahasan yaitu sebagai berikut:

1.    Kodikologi
Istilah kodikologi berasal dari kata Latin ‘codex’ (bentuk tunggal; bentuk jamak ‘codies’) yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ‘naskah’–bukan menjadi ‘kodeks’. Sri Wulan Rujiati Mulyadi mengatakan kata ’caudex’ atau ‘codex’ dalam bahasa Latin menunjukkan hubungan pemanfaatan kayu sebagai alas tulis yang pada dasarnya kata itu berarti ‘teras batang pohon’. Kata ‘codex’ kemudian di berbagai bahasa dipakai untuk menunjukkan suatu karya klasik dalam bentuk naskah.
Hermans dan Huisman menjelaskan bahwa istilah kodikologi (codicologie) diusulkan oleh seorang ahli bahasa Yunani, Alphonse Dain, dalam kuliah-kuliahnya di Ecole Normale Seprieure, Paris, pada bulan Februari 1944. Akan tetapi istilah ini baru terkenal pada tahun 1949 ketika karyanya, ‘Les Manuscrits’ diterbitkan pertama kali pada tahun tersebut. Dain sendiri mengatakan bahwa kodikologi adalah ilmu mengenai naskah-naskah dan bukan mempelajari apa yang tertulis di dalam naskah. Dain juga menegaskan walaupun kata kodikologi itu baru, ilmu kodikologinya sendiri bukanlah hal yang baru. Selanjutnya Dain juga mengatakan bahwa tugas dan “daerah” kodikologi antara lain ialah sejarah naskah, sejarah koleksi naskah, penelitian mengenai tempat naskah2 yang sebenarnya, masalah penyusunan katalog, penyusunan daftar katalog, perdagangan naskah dan penggunaan naskah-naskah itu.
2.    Tekstologi
Tekstologi ialah ilmu yang mempelajari seluk beluk dalam teks meliputi meneliti penjelmaan dan penurunan teks sebuah karya sastra, penafsiran, dan pemahamannya. Dengan menyelidiki sejarah teks suatu karya.                          Data yang terdiri dari karakter-karakter yang menyatakan kata-kata atau lambang-lambang untuk berkomunikasi oleh manusia dalam bentuk tulisan.
B.    Folklor

Folklor meliputi legenda, musik, sejarah lisan, pepatah, lelucon, takhayul, dongeng, dan kebiasaan yang menjadi tradisi dalam suatu budaya, subkultur, atau kelompok. Folklor juga merupakan serangkaian praktik yang menjadi sarana penyebaran berbagai tradisi budaya. Bidang studi yang mempelajari folklor disebut folkloristika. Istilah filklor berasal dari bahasa Inggris, folklore, yang pertama kali dikemukakan oleh sejarawan Inggris William Thoms dalam sebuah surat yang diterbitkan oleh London Journal pada tahun 1846.[1] Folklor berkaitan erat dengan mitologi.

Sebelum mengenal contoh-contoh tradisi lisan, sebaiknya kamu mengenal dulu pengertiannya, supaya dapat membedakan antara bentuk yang satu dengan yang lainnya. Berdasarkan asal katanya, folklor berasal dari dua kata yaitu folk dan lore. Kata folk dapat diartikan sebagai sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Ciri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud: warna kulit yang sama, rambut yang sama, mata pencaharian yang sama, bahasa yang sama, taraf pendidikan yang sama, dan agama yang sama. Namun yang lebih penting lagi adalah bahwa mereka memiliki suatu tradisi, yakni kebudayaan yang telah mereka warisi secara turun-temurun, sedikitnya dua generasi. Di samping itu, yang paling penting adalah mereka sadar akan identitas kelompok mereka sendiri. Kata lore diartikan sebagai tradisi dari folk, yaitu sebagian kebudayaannya, yang diwariskan secara turun-temurun, baik secara lisan maupun melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat. Pengertian folklore secara keseluruhan adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat
atau alat pembantu.
    Ciri-ciri Folklor
Kedudukan folklor dengan kebudayaan lainnya tentu saja berbeda, karena folklor memiliki karakteristik atau ciri tersendiri. Menurut pendapat Danandjaja (1997: 3), ciri-ciri pengenal utama pada folklor bisa dirumuskan sebagai berikut:
•    Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut.
•    Folklor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar.
•    Folklor ada (exis) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan), biasanya bukan melalui cetakan atau rekaman, sehingga oleh proses lupa diri manusia atau proses interpolasi (interpolation).
•    Folklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi.
•    Folkor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola, dan selalu menggunakan kata-kata klise.
•    Folklor mempunyai kegunaan sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam.
•    Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai logika umum. Ciri pengenalan ini terutama berlaku bagi folklor lisan dan sebagian lisan.
•    Folklor menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu. Hal ini sudah tentu diakibatkan karena penciptanya yang pertama sudah tidak diketahui lagi, sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya.
•    Folklor pada umumnya bersifar polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatannya kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak folklor merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur manisfestasinya.
    Jenis-jenis Folklor
•    FolklorLisan
Menurut pendapat Rusyana (1976) folklor lisan atau sastra lisan mempunyai kemungkinan untuk berperanan sebagai kekayaan budaya khususnya kekayaan sastra; sebagai modal apresiasi sastra sebab sastra lisan telah membimbing anggota masyarakat ke arah apresiasi dan pemahaman gagasan dan peristiwa puitik berdasarkan praktek yang telah menjadi tradisi selama berabad-abad; sebagai dasar komunikasi antara pencipta dan masyarakat dalam arti ciptaan yang berdasarkan sastra lisan akan lebih mudah digauli sebab ada unsurnya yang sudah dikenal oleh masyarakat.
a. Prosa Lama
•    Dongeng adalah bentuk sastra lama yang bercerita tentang sesuatu kejadian yang luar biasa dan penuh khayalan, tentang dewa-dewa, peri-peri, putri-putri cantik, dan sebagainya. Fungsi dongeng haruslah sebagai penghibur. Oleh karena itu, dongeng disebut juga cerita pelipur lara. Dongeng bermacam-macam, yaitu :
    Dongeng jenaka adalah cerita tentang tingkah laku orang bodoh, malas, atau cerdik dan masing-masing dilukiskan secara humor. Contoh: Pak Pandir, Lebai Malang, Pak Belalang, Abu Nawas, dll.
    Cerita berbingkai adalah cerita yang di dalamnya terdapat cerita lagi yang dituturkan oleh pelaku-pelakunya. Contoh: Seribu Satu Malam
    Mitologi yaitu ilmu tentang kesusasteraan yang mengandung konsep tentang dongeng suci, kehidupan para dewa dan makhluk halus salam suatu kebudayaan. Atau ceritera tentang asal usul alam semesta, manusia dan bangsa yang dikaitkan dengan cara-cara gaib dan mengandung arti mendalam.
Contoh: Mitos tentang Nyai Loro Kidul
    Legenda, yaitu ceritera pada masa lampau yang masih memiliki hubungan dengan peristiwa-peristiwa sejarah atau dongeng-dongeng.
Contoh: Legenda Gunung Tangkuban Perahu, Terjadinya Kota Banyuwangi, Pulau Samosir dll.
    Fabel adalah cerita lama yang menokohkan binatang sebagai lambang pengajaran moral (biasa pula disebut sebagai cerita binatang). Beberapa contoh fabel, adalah: Kancil dengan Buaya, Kancil dengan Harimau, Hikayat Pelanduk Jenaka, Kancil dengan Lembu, Burung Gagak dan Serigala, Burung Bangau dengan Ketam, Siput dan Burung Centawi, dll.
    Sage adalah cerita lama yang berhubungan dengan sejarah, yang menceritakan keberanian, kepahlawanan, kesaktian dan keajaiban seseorang. Beberapa contoh sage, adalah: Calon Arang, Ciung Wanara, Airlangga, Panji, Smaradahana, dll
    Parabel adalah cerita rekaan yang menggambarkan sikap moral atau keagamaan dengan menggunakan ibarat atau perbandingan. Contoh: Kisah Para Nabi, Hikayat Bayan Budiman, Mahabarata, Bhagawad Gita, dll.
•    Hikayat, berasal dari India dan Arab, berisikan cerita kehidupan para dewi, peri, pangeran, putri kerajaan, serta raja-raja yang memiliki kekuatan gaib. Kesaktian dan kekuatan luar biasa yang dimiliki seseorang, yang diceritakan dalam hikayat kadang tidak masuk akal. Namun dalam hikayat banyak mengambil tokoh-tokoh dalam sejarah. Contoh: Hikayat Hang Tuah, Kabayan, Si Pitung, Hikayat Si Miskin, Hikayat Indra Bangsawan, Hikayat Sang Boma, Hikayat Panji Semirang, Hikayat Raja Budiman.
•    Sejarah (tambo) adalah salah satu bentuk prosa lama yang isi ceritanya diambil dari suatu peristiwa sejarah. Cerita yang diungkapkan dalam sejarah bisa dibuktikan dengan fakta. Selain berisikan peristiwa sejarah, juga berisikan silsilah raja-raja. Sejarah yang berisikan silsilah raja ini ditulis oleh para sastrawan masyarakat lama. Contoh: Sejarah Melayu karya datuk Bendahara Paduka Raja alias Tun Sri Lanang yang ditulis tahun 1612.
•    Kisah adalah cerita tentang cerita perjalanan atau pelayaran seseorang dari suatu tempat ke tempat lain. Contoh: Kisah Perjalanan Abdullah ke Negeri Kelantan, Kisah Abdullah ke Jedah.
•    Bidal adalah cara berbicara dengan menggunakan bahasa kias. Bidal terdiri dari beberapa macam, diantaranya:

    Pepatah adalah suatu peri bahasa yang mengunakan bahasa kias dengan maksud mematahkan ucapan orang lain atau untuk menasehati orang lain. Contoh: Malu bertanya sesat di jalan. Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna.

    Tamsil (ibarat) adalah suatu peribahasa yang berusaha memberikan penjelasan dengan perumpamaan dengan maksud menyindir, menasihati, atau memperingatkan seseorang dari sesuatu yang dianggap tidak benar.
Contoh: Tua-tua keladi, makin tua makin menjadi. Keras-keras kersik, kena air lemut juga.

    Kiasan adalah ungkapan tertentu untuk menyampaikan maksud yang sebenarnya kepada seseorang, karena sifat, karakter, atau keadaan tubuh yang dimilikinya. Kata-kata sebutan yang digunakan dengan cara tersebut dinamakan bahasa kiasan.
Contoh: Makan tangan = memperoleh keuntungan besar. Buah hati = kekasih atau orang yang sangat dicintai.

    Perumpamaan adalah suatu peribahasa yang digunakan seseorang dengan cara membandingkan suatu keadaan atau tingkah laku seseorang dengan keadaan alam, benda, atau makhluk alam semesta.
Contoh: Seperti anjing makan tulang. Seperti durian dengan mentimun.

    Pemeo adalah suatu peribahasa yang digunakan untuk berolok-olok, menyindir atau mengejek seseorang atau suatu keadaan.
Contoh:
Ladang Padang, orang Betawi: maksudnya berlagak seperti orang Padang padahal dia orang Betawi atau orang Betawi yang berlagak kepadang-padangan.
Bual anak Deli: maksudnya membual seperti membualnya daerah Deli yang terus menerus, namun isinya tidak bermakna.

b. Puisi Lama

Puisi Lama merupakan kesustraan rakyat yang sudah tertentu bentuknya, biasanya terjadi dari beberapa deret kalimat, ada yang berdasarkan mantra, ada yang berdasarkan panjang pendek suku kata, lemah tekanan suara, atau hanya berdsarkan irama (Danandjaja, 1997: 46). Puisi lama terikat oleh aturan-aturan Aturan- aturan itu antara lain :

    1. Jumlah kata dalam 1 baris
    2. Jumlah baris dalam 1 bait
    3. Persajakan (rima)
    4. Banyak suku kata tiap baris
    5. Irama

    Macam-Macam Puisi Lama

    Mantra merupakan puisi tua, keberadaannya dalam masyarakat Melayu pada mulanya bukan sebagai karya sastra, melainkan lebih banyak berkaitan dengan adat dan kepercayaan.

Contoh:

    Assalammu’alaikum putri satulung besar
    Yang beralun berilir simayang
    Mari kecil, kemari
    Aku menyanggul rambutmu
    Aku membawa sadap gading
    Akan membasuh mukamu

    Gurindam adalah puisi lama yang berasal dari Tamil (India)

Ciri-ciri gurindam:

    a. Sajak akhir berirama a – a ; b – b; c – c dst.
    b. Berasal dari Tamil (India)
    c. Isinya merupakan nasihat yang cukup jelas yakni menjelaskan atau menampilkan    suatu sebab akibat.

Contoh :
Kurang pikir kurang siasat (a)
Tentu dirimu akan tersesat (a)

Barang siapa tinggalkan sembahyang ( b )
Bagai rumah tiada bertiang ( b )

Jika suami tiada berhati lurus ( c )
Istri pun kelak menjadi kurus ( c )




    Syair adalah puisi lama yang berasal dari arab.

Ciri - ciri syair :
    a. Setiap bait terdiri dari 4 baris
    b. Setiap baris terdiri dari 8 – 12 suku kata
    c. Bersajak a – a – a – a
    d. Isi semua tidak ada sampiran
    e. Berasal dari Arab

Contoh :

Pada zaman dahulu kala (a)
Tersebutlah sebuah cerita (a)
Sebuah negeri yang aman sentosa (a)
Dipimpin sang raja nan bijaksana (a)

    Negeri bernama Pasir Luhur (a)
    Tanahnya luas lagi subur (a)
    Rakyat teratur hidupnya makmur (a)
    Rukun raharja tiada terukur (a)

Raja bernama Darmalaksana (a)
Tampan rupawan elok parasnya (a)
Adil dan jujur penuh wibawa (a)
Gagah perkasa tiada tandingnya (a)

    Pantun adalah puisi Melayu asli yang cukup mengakar dan membudaya dalam masyarakat.

Ciri – Ciri Pantun :

    1. Setiap bait terdiri 4 baris
    2. Baris 1 dan 2 sebagai sampiran
    3. Baris 3 dan 4 merupakan isi
    4. Bersajak a – b – a – b
    5. Setiap baris terdiri dari 8 – 12 suku kata
    6. Berasal dari Melayu (Indonesia)

Contoh :

    Ada pepaya ada mentimun (a)
    Ada mangga ada salak (b)
    Daripada duduk melamun (a)
    Mari kita membaca sajak (b)
    Nyanyian Rakyat adalah salah satu genre atau bentuk folklor yang terdiri dari kata-kata dan lagu, yang beredar secara lisan di antara anggota kolektif tertentu, berbentuk tradisional, serta banyak mempunyai varian (Brudvand dalam Danandjaja, 1997: 141). Contohnya: kakawihan urang lembur (tokecang, endeuk-eundeukan, ayang-ayagung, prang-pring, bulantok, cing cangkeling, dll.), kagu-kagu gondang, lagu-lagu calung, lagu-lagu celempungan, lagu pa nyawer, lagu pangjampe, dll.
    Talibun adalah pantun jumlah barisnya lebih dari empat baris, tetapi harus genap misalnya 6, 8, 10 dan seterusnya.
Jika satu bait berisi enam baris, susunannya tiga sampiran dan tiga isi.
Jika satiu bait berisi delapan baris, susunannya empat sampiran dan empat isi.
Jadi :
Apabila enam baris sajaknya a – b – c – a – b – c.
Bila terdiri dari delapan baris, sajaknya a – b – c – d – a – b – c – d

Contoh :
Kalau anak pergi ke pekan
Yu beli belanak pun beli sampiran
Ikan panjang beli dahulu

    Kalau anak pergi berjalan
    Ibu cari sanak pun cari isi
    Induk semang cari dahulu
     2. Folklor Setengah Lisan
•    Kepercayaan dan tahayul
•    Permainan (kaulinan) rakyat dan hiburan-hiburan rakyat
•    Drama rakyat Seperti: wayang golek, sandiwara, reog, calung, longser, banjet, ubrug, dll.
•    Tari Seperti: tari tayub, tari keurseus, tari ronggeng gunung, tari topeng, dll,
•    Adat atau tradisi. Contohnya: tradisi upacara menanam padi, tradisi orang hamil hingga malahirkan, tradisi pernikahan, tradisi khitanan, tradisi membangun rumah, tradisi ruatan, dll
•    Pesta-pesta rakyat. Contohnya: pesta rakyat kawaluan Baduy, pesta rakyat ngalaksa di Rancaklong dan Baduy, pesta rakyat seba laut di pesisir pantai selatan, pesta rakyat kawin tebu di Majalengka, pesta rakyat seren taun di Ciptarasa dan Baduy, pesta rakyat mubur sura di Rancakalong.

3.    Folklor Bukan Lisan
Folklor bukan lisan dapat dibagi menjadi dua golongan/bagian, yaitu: Folklor yang materiil, dan Folklor yang bukan materiil.


a. Folklor Materiil
•    Arsitektur rakyat. Seperti: bentuk julang ngapak, tagog anjing, sontog, duduk jandela, dll.
•    Seni kerajinan tangan. Seperti: seni batik, anyaman, patung, ukiran, bangunan, dll.
•    Pakaian dan perhiasan. Seperti: Kebaya, baju kampret, totopong, bendo, pendok, giwang, penitik, kalung, gengge, siger, mahkuta, kelom geulis, payung, dll.
•    Obat-obat rakyat. Seperti: jamu-jamuan, daun-daunan, kulit pohon, buah, getah, dan jampe-jampe.
•    Makanan dan minuman. Seperti: awug, tumpeng, puncakmanik, dupi, lontong, ketupat, angleng, wajit, dodol, kolotong, opak, ranginang, ulen, liwet, kueh cuhcur, surabi, bakakak, dadar gulung, aliagrem, dan minuman: lahang, wedang, bajigur, bandrek, dll.
•    Alat-alat musik. Seperti: kacapi, suling, angklung, calung, dogdog, kendang, gambang, rebab, celempung, terebang, tarompet, dll.
•    Peralatan dan senjata. Seperti: rumah tanga; nyiru, dingkul, ayakan, sirib, dulang, dll. Alat pertanian: pacul, parang, wuluku, garu, caplakan, kored, congrang, patik, dekol, balicong, bedog, peso raut, peso rajang, arit, dll. Senjata: tombak, paser, ketepel, sumpit, badi, keris, dll.
•    Mainan. Seperti: ucing sumput, pris-prisan, engkle-engklean, sondah, sapintrong, congklak, damdaman, kasti, langlayangan, papanggalan, luncat galah, kukudaan, dll.
b. Folklor Bukan Materil
•    Bahasa isyarat (gesture) Seperti: bersiul, mengacungkan jempol, mengedipkan mata, melambaikan tangan, mengangguk, menggeleng, mengepalkan tangan, dll.
•    Laras musik Seperti: laras salendro, laras pelog, laras dedegungan, laras madenda, dll.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar